Trump Bakal Bikin Bangkrut Iran untuk Paksa Sepakati Perjanjian Nuklir Baru
WASHINGTON, iNews.id - Tim presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump dilaporkan sedang menyusun strategi untuk menekan Iran. Tujuannya untuk membuat Iran bangkrut dengan sanksi bertubi-tubi, kecuali jika negara itu mau menyepakati perjanjian nuklir yang baru.
Pada periode pertama jabatannya sebagai presiden atau 2018, Trump membawa AS keluar dari kesepakatan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Alasannya, kesepakatan yang diteken oleh negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman dan Uni Eropa pada 2015 itu tak relevan lagi sehingga harus diperbarui.
Sejak itu AS menjatuhkan kembali sanksi yang memukul perekonomian Iran.
Iran memandang keputusan Trump itu tak berdasar karena program nuklirnya dipantau terus oleh badan energi atom internasional IAEA. Selain itu Iran menegaskan tak ada rencana membuat senjata nuklir.
JCPOA dibuat pada masa pemerintahan presiden AS Barack Obama dengan tujuan untuk mengendalikan program nukir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi.
Sebabagai respons atas keputusan Trump, Iran mengingkari kewajibannya dalam JCPOA dengan meningkatkan pengayaan uranium di atas ambang batas yang ditentukan.
Surat kabar Inggris Financial Times, mengutip beberapa sumber pejabat, melaporkan tim pemerintahan Trump sedang menyiapkan tekanan maksimum terhadap perekonomian Iran.
Taktik tekanan maksimum itu ditujukan untuk menguras pendapatan minyak Iran. Dengan begitu kemampuan Iran akan terbatas untuk mengembangkan senjata nuklir, mendanai kelompok-kelompok proksinya di kawasan, serta dalam memberikan pengaruh terhadap politik di kawasan.
Juru Bicara Badan Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi sebelumnya menegaskan Iran siap untuk melanjutkan kesepakatan nuklir, namun memerlukan negosiasi yang serius.
Sebelumnya laporan serupa diangkat surat kabar AS The Wall Street Journal (WSJ). Disebutkan, Trump berencana mengintensifkan tekanan maksimum terhadap Iran yang bertujuan mengekang ekspor minyak serta membatasi pengaruhnya di Timur Tengah.
"Saya kira Anda akan melihat sanksi kembali berlaku, Anda akan melihat lebih banyak lagi, baik secara diplomatik maupun finansial. Mereka berusaha mengisolasi Iran," kata seorang mantan pejabat Gedung Putih kepada WSJ, pekan lalu.
Dia menambahkan, Iran berada dalam posisi yang lemah saat ini dan kondisi itu akan dieksploitasi.
WSJ melaporkan, kampanye tekanan maksimum tersebut juga dikaitkan dengan tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Trump oleh agen Iran. Rencana itu disebut telah disiapkan sejak lama oleh Iran guna membalas kematian perwira senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Qasem Soleimani pada 2020 dalam serangan drone.
Saat itu Trump memerintahkan langsung militer AS untuk membunuh Soleimani yang sedang berada di Baghdad, Irak.
"Jika dia akan bersikap agresif terhadap suatu negara, yang disebut sebagai musuh utama, itu adalah Iran," kata Mick Mulroy, mantan pejabat Departemen Pertahanan AS (Pentagon), kepada WSJ.
Brian Hook, mantan pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu) AS, dilaporkan akan mengambil peran utama soal Iran dalam pemerintahan Trump. Dialah yang memperjuangkan strategi tekanan maksimum terhadap Iran dengan alasan strategi itu akan berhasil memangkas dana untuk dinas keamanan Iran.