Mengapa Belum Satu Perempuan pun Jadi Presiden AS? Ini Pendapat Warga dan Pakar
JAKARTA, iNews.id - Ada beberapa nama perempuan yang maju dalam pilpres AS sejak tahun 1800-an hingga saat ini, namun tak seorang pun yang memenangkan jabatan Gedung Putih. Dua kandidat teranyar yakni Hillary Clinton dan Kamala Harris masing-masing kalah dalam Pilpres AS 2016 dan 2024. Kedua politisi Partai Demokrat itu kalah dari orang yang sama, Donald Trump.
Dalam pilpres AS 2024 yang digelar Selasa (5/11/2024), para pemilih perempuan meratapi hilangnya kesempatan untuk mengirim kaum hawa ke Gedung Putih.
"Saya benar-benar terkejut. Saya kecewa dengan sesama warga Amerika karena sekali lagi, kita gagal memilih seorang perempuan yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden," kata Precious Brady-Davis, seorang warga Chicago, kepada Associated Press.
Kekecewaan lainnya disampaikan Denise Martin asal Georgia. Dia menilai warga AS belum siap dipimpin seorang perempuan.
"Saya benar-benar merasa bahwa mayoritas warga Amerika masih belum siap untuk seorang perempuan. Mereka sangat picik," ujarnya.
Harris sebenarnya bisa memanfaatkan status gendernya untuk menarik dukungan dalam pilpres Amerika Serikat 2024, namun hal itu tak dimanfaatkan. Dalam kampanye-kampanyenya dia lebih mengangkat masalah lain, seperti isu perbatasan, imigrasi, dan aborsi.
Hal ini terlihat dari survei AP VoteCast melibatkan lebih dari 120.000 pemilih di seluruh AS. Sebanyak 53 persen lebih perempuan mendukung Harris, dibandingkan dengan 46 persen lebih yang mendukung Trump. Perolehan dukungan perempuan bagi Harris lebih sedikit ketimbang yang diberikan terhadap Joe Biden pada Pilpres AS 2020.
Isu gender tampaknya bukan menjadi motivasi seorang perempuan memilih presiden. Mereka lebih menilai dari kapasitas, bukan sekadar sesama jenis kelamin.
Menurut VoteCast, hanya sekitar 1 dari 10 pemilih yang mendukung Harris karena faktor gender. Sementara sekitar seperempatnya menilai calon presiden perempuan sebagai salah satu pendorong penting, namun bukan yang utama. Sekitar 4 dari 10 perempuan menilai gender bukan faktor utama.
Perempuan yang mendukung Trump dalam pilpres AS, Katherine Mickelson, mengatakan, persaingan menuju Gedung Putih tak didasarkan atas gender semata, namun faktor lain yang lebih besar. Menurut mahasiswi berusia 20 tahun asal Sioux Falls, Dakota Selatan, itu dia memilih presiden karena kapasitasnya dalam nilai dan isu seperti bagaimana menangani permasalan ekonomi.
"Meskipun saya kira banyak perempuan ingin melihat presiden perempuan, termasuk saya, kita tidak akan begitu saja memilih seorang perempuan," ujarnya.
Pemilih lain, Maya Davis, menilai status Harris sebagai perempuan kulit hitam dan keturunan Asia Selatan justru berperan terhadap kekalahannya. Pengacara kulit hitam berusia 27 tahun asal Carolina Utara itu menjelaskan tak ada yang berbeda dari Harris saat maju. Ini menyiratkan bahwa Harris sama seperti kandidat lain, tak menonjolkan soal gender.
"Saya rasa tidak ada hal berbeda yang bisa dia lakukan," ujarnya.
Mike Nellis, mantan penasihat kampanye Harris pada 2020 sekaligus pendiri White Dudes for Harris, mengatakan ada pelajaran penting yang harus diperhatikan Partai Demokrat setelah kekalahan Harris.
“Semua orang akan punya pendapat. Kita semua akan kebakaran rambut," kata Dellis, menjelaskan soal kemarahan, kepada Al Jazeera.
Tammy Vigil, profesor di Universitas Boston yang juga peniliti isu perempuan dalam politik, mengatakan kekalahan Harris menunjukkan bahwa banyak hal yang harus dikerjakan.
"Kekalahan ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan di AS dalam hal gender dan ras," ujarnya.
Pandangan lain disampaikan Nadia Brown, direktur program studi perempuan dan gender Universitas Georgetown. Ada yang tak beres dengan keputusan orang-orang dalam menentukan pilihan mereka di pilpres.
Dia menilai Harris merupakan capres yang lebih memenuhi syarat untuk ikut dalam pencalonan. Harris memiliki pengalaman puluhan tahun di pemerintahan, saat menjabat jaksa penuntut hingga berperan di Senat dan Gedung Putih. Kekalahannya menimbulkan pertanyaan, mengapa begitu banyak orang yang justru memilih Trump.
“Kekalahan ini hanya menggarisbawahi jumlah rasisme yang mengakar dan hetero-patriarki kulit putih, supremasi kulit putih yang mengakar di negara ini,” kata Brown.
Menurut Brown, kondisi itu salah satunya disebabkan banyak pernyataan Trump yang menyerang Harris. Trump berulang kali menyebut Harris ber-IQ rendah, cacat mental, bahkan salah satu orang paling bodoh dalam sejarah AS.
Retorika itu, kata Brown, seperti memberi izin kepada para pendukungnya untuk mengabaikan dan merendahkan Harris.
Andra Gillespie, pengamat politik Universitas Emory di Atlanta, mengatakan Harris bukan capres pertama yang menghadapi serangan berdasarkan ras atau jenis kelamin.
Barack Obama, presiden kulit hitam pertama AS, menghadapi pertanyaan berulang tentang negara kelahirannya dan apakah dia seorang Muslim atau bukan. Hal yang sama terjadi pada Hillary Clinton, capres perempuan pertama dari partai besar.
Jika Obama menghadapi tantangan ras dan Clinton soal gender, Harris mendapat masalah lebih besar lagi, yakni kombinasi keduanya. Gillespie mengatakan seksisme yang dihadapi Harris bercorak rasial.
"Ketiganya, karena perbedaan mereka, menghadapi tantangan," ujarnya.
Oleh karena itu belum adanya satu pun perempuan di AS yang menjadi presiden bisa disebabkan faktor keberterimaan gender, ras, atau kombinasi keduanya. Sekalipun kandidat yang maju dalam pilpres adalah perempuan kulit putih, belum tentu bisa memenangkan kursi Gedung Putih karena keberterimaan masih kurang.