Tarif Trump, Seberapa Besar Efeknya bagi AS dan Indonesia?
IDXChannel - Donald Trump kembali membuat gebrakan tak lama setelah dilantik menjadi Presiden ke-60 Amerika Serikat (AS). Kebijakannya yang belakangan ini menjadi sorotan adalah soal tarif.
Sederhananya, kebijakan ini merupakan tarif tambahan yang dikenakan terhadap barang yang masuk Amerika. Jadi, barang impor di AS menjadi lebih mahal dari sebelumnya.
Tarif impornya bervariasi. Yang tertinggi dikenakan atas barang dari China dengan tarif 145 persen. Indonesia juga terkena dampak dari tarif ini sebesar 32 persen. Belakangan, kebijakan tarif ditunda sampai 90 hari, kecuali China, karena Beijing mengambil langkah konfrontasi.
Trump menjelaskan soal hitung-hitungan tarif yang disebutnya sebagai tarif resiprokal itu. Dasar perhitungan diambil dari defisit perdagangan dibagi nilai impor kemudian dibagi dua.
Sebagai contoh, Indonesia surplus dengan AS sebesar USD17,9 miliar di 2024, kemudian nilai ekspor mencapai USD38,3 miliar sehingga saat dua variabel itu dibagi menghasilkan angka 46,7. Lalu dibagi dua menjadi 23 sehingga Indonesia dikenakan tarif 23 persen.
Defisit neraca dagang memang menjadi alasan utama penerapan tarif Trump. Tahun lalu, AS mencatat defisit USD1,2 triliun atau setara Rp20 kuadriliun. Perdagangan dengan China mencatat defisit terbesar hingga USD295 miliar, diikuti Uni Eropa USD236 miliar.
Kebijakan tarif sebenarnya bukan barang baru di AS. Presiden ke-25 AS, William McKinley (1897-1901) pernah menerapkan tarif serupa. McKinley kerap dijuluki "Tarriff Man", jauh sebelum Trump menyematkan julukan tersebut pada dirinya.
Trump kemungkinan besar terinspirasi dari pendahulunya dari Partai Republik itu. Secara terang-terangan, Trump menyinggung pria yang disebutnya "natural businessman" itu pernah membuat Amerika menjadi kembali kuat dan kaya lewat kebijakan tarif. Ini selaras dengan visi Trump soal "Make America Great Again".
Profil Abdulkarim Fardan, Kiper Bahrain yang Acungkan Jari Tengah ke Suporter Timnas Indonesia
Penasihat Utama Ekonomi Trump, Stephen Mirran pernah menyebut, tarif bisa menjadi senjata bagi AS untuk bernegosiasi dengan para mitra dagangnya. Bagi banyak ekonom, tarif dinilai kontradiktif dan merusak perdagangan global. Mirran tak sepakat karena teori tersebut mengasumsikan perdagangan dunia tak ada defisit atau defisit hanya sementara karena akan hilang dengan sendirinya lewat penyesuaian kurs secara alamiah.
Bagi AS, kebijakan tarif dalam jangka pendek akan menaikkan harga-harga barang, terutama barang impor. Konsumen dan industri yang mengandalkan bahan baku impor akan terkena dampaknya. Berbagai upaya bank sentral The Fed untuk menekan inflasi dan rencana penurunan suku bunga acuan akan menghadapi tantangan berat. Jika kondisi ini tak membaik, maka AS bisa resesi.
Di samping itu, AS juga akan diuntungkan dalam jangka pendek karena akan meraup penerimaan bea masuk dan pajak impor cukup besar. Bersamaan dengan efisiensi besar-besaran yang dilakukan oleh Trump, kebijakan ini bisa meringankan beban APBN. Pada 2025, defisit APBN AS diproyeksikan menyentuh USD1,9 triliun atau lebih dari Rp30 kuadriliun.
Tarif juga akan membuat daya saing produk impor melemah, sehingga diharapkan produksi dalam negeri AS bisa meningkat. Dengan begitu, AS bisa menggenjot ekspornya dan memperbaiki neraca perdagangannya.
Di tengah tingginya biaya tenaga kerja, AS bisa memberikan insentif pajak kepada industri yang memindahkan pabriknya ke AS. Di periode pertama menjadi presiden, Trump kerap memberikan potongan pajak untuk dunia usaha.
Namun, kebijakan ini bukan tanpa tantangan. Perang tarif menjadi tak terhindarkan meski banyak yang memilih opsi negosiasi. Perdagangan global berpotensi menuju arah proteksionisme. Mirip dengan Britania Raya yang memprotes tarif McKinley, China juga membalas tarif Trump dengan menaikkan bea impor barang dari AS.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? ASEAN menjadi penyumbang defisit terbesar ketiga bagi AS sebesar USD228 miliar. Di kawasan, Vietnam mengalami surplus terbesar hingga USD123 miliar. Indonesia juga surplus USD17,9 miliar dan masuk 15 negara terbesar yang neracanya surplus dengan AS.
Pasar keuangan merespons cepat pasca Trump mengumumkan tarif 32 persen. IHSG turun tajam hingga sistem perdagangan mengalami trading halt setelah libur panjang Lebaran. Belakangan indeks mulai rebound usai Trump menunda pelaksanaan tarif serta merevisi sejumlah tarif seperti produk elektronik.
Industri yang terdampak langsung tarif Trump adalah perusahaan yang mengekspor barang ke AS. Kebanyakan industri ini bersifat padat karya seperti elektronik, tekstil, alas kaki, dan mebel. Banyak dari produk Indonesia yang menikmati preferential tariff untuk negara berkembang, sehingga dikenakan tarif 0 persen.
AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Pada 2024, ekspor ke AS mencapai USD38,3 miliar, sekitar 15 persen dari total ekspor. Dalam jangka pendek, ekspor Indonesia ke AS bisa turun jika tak mampu bersaing. Begitu juga dengan surplus perdagangan yang dinikmati Indonesia atas AS.
Presiden Prabowo Subianto telah mengirim tim yang berisikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Luar Negeri Sugiono. Tim ini bertugas memberikan klarifikasi soal tuduhan AS bahwa Indonesia menerapkan tarif dan hambatan perdagangan bagi AS.
Prabowo juga mengungkapkan sejumlah ide untuk menghapus hambatan tersebut. Di antaranya menghapus kuota impor hingga relaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selain itu, Prabowo juga setuju dengan wacana pembentukan satgas untuk melakukan deteksi dini jika ada PHK di padat karya.
Kadin juga sudah bersuara terkait tarif Trump sekaligus memberikan masukan kepada pemerintah. Ketua Umum Kadin, Anindya Bakrie mengusulkan pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk meningkatkan daya saing nasional. Paket kebijakan tersebut harus mendorong agar industri lebih efisien dengan memangkas beban-beban yang menghambat.
Namun, wacana soal kuota impor dan TKDN perlu dikaji lebih serius dampaknya. Jangan sampai kebijakan ini malah merugikan industri nasional karena investor, terutama asing sudah menanamkan modal besar dan banyak menyerap tenaga kerja. Sektor atau produk impor yang direlaksasi bisa dilakukan secara selektif pada sektor industri yang sudah siap dan memiliki daya saing tinggi.
Penghapusan hambatan perdagangan juga perlu dibarengi secara paralel dengan kebijakan peningkatan daya saing sehingga industri lebih siap menghadapi barang-barang impor. Deregulasi, debirokratisasi, insentif pajak, hingga pemberantasan korupsi dan pungutan liar (pungli) bisa dilakukan untuk mengurangi "kolesterol" dalam sistem perekonomian.
Bagi masyarakat, ketidakpastian dari tarif Trump sejauh ini belum terlihat karena masih sangat dinamis. Namun, bagi investor, gejolak di pasar keuangan bisa menjadi kesempatan untuk membeli saham-saham yang memiliki fundamental baik. Namun mereka yang memiliki appetite risk rendah, bisa memilih aset-aset yang minim risiko seperti emas atau obligasi negara.
(Rahmat Fiansyah)