IHSG Sempat Trading Halt, Analis Soroti Tantangan dan Peluang di Tengah Gejolak Pasar
IDXChannel - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat merosot 9,19 persen pada pembukaan perdagangan pertama setelah libur panjang Idulfitri, Selasa (8/4/2025) pagi, hingga memicu trading halt selama 30 menit di awal sesi.
Berdasarkan peraturan terbaru, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyesuaikan batasan auto rejection bawah (ARB) dan ketentuan penghentian sementara perdagangan efek.
Batasan ARB untuk saham di Papan Utama, Papan Pengembangan, dan Papan Ekonomi Baru kini diseragamkan menjadi 15 persen, berbeda dari sebelumnya yang mengikuti batas auto rejection atas (ARA) berdasarkan fraksi harga. Ketentuan ini juga berlaku untuk Exchange-Traded Fund (ETF) dan Dana Investasi Real Estat (DIRE) di seluruh rentang harga.
Kemudian, jika IHSG turun lebih dari 8 persen dalam satu hari, perdagangan akan dihentikan sementara (trading halt) selama 30 menit.
Jika penurunan berlanjut hingga lebih dari 15 persen, trading halt kembali diberlakukan dengan durasi yang sama.
Sementara itu, jika koreksi melewati 20 persen, bursa akan mengenakan trading suspend yang dapat berlangsung hingga akhir sesi perdagangan atau lebih dari satu sesi dengan persetujuan OJK.
Pada 10.46 WIB, IHSG masih melemah signifikan, yakni 7,76 persen ke 6.005. Hanya sebanyak 20 saham naik, 644 saham turun, dan 244 sisanya stagnan.
Nilai transaksi tercatat mencapai Rp9,65 triliun dan volume 11,35 miliar saham.
Seperti yang sudah diprediksi analis sebelumnya, pasar saham Indonesia jatuh di tengah sentimen pasar yang dibayangi ketidakpastian global akibat kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) yang memicu gejolak di berbagai bursa dunia.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai aturan trading halt dan ARB yang diterapkan Bursa Efek Indonesia (BEI) kurang tepat dalam situasi saat ini. "Karena ini membatasi pergerakan investor asing yang memang saat ini jelas masih akan melakukan outflow," ujarnya kepada IDXChannel.com, Selasa (8/4/2025).
Menurutnya, risiko terbesar saat ini justru datang dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berada di level tertinggi. "Jika kita tidak mampu menjaga level rupiah, maka akan ada capital outflow kembali," kata Michael.
Meski demikian, ia melihat peluang tetap ada di tengah tekanan pasar. "Setiap krisis akan selalu ada peluang. Dalam 10 tahun ke belakang, perbankan kita tidak pernah memberikan dividen double digit. Kenapa? Karena penurunan bursa saham kali ini tidak sebanding dengan penurunan kinerja perbankan," tuturnya.
Michael menilai meskipun proyeksi pendapatan sektor perbankan mengalami penurunan, koreksi harga sahamnya jauh lebih besar sehingga menciptakan peluang di level saat ini.
"Berdasarkan data dari tiga krisis sebelumnya—2008, 2015, dan 2020—valuasi perbankan kita di 2025 berada di PBV lebih rendah 5-8 persen, kecuali BBCA," demikian kata Yeoh.
Lebih lanjut, ia mengingatkan potensi margin call yang bisa memicu trading halt kembali.
"Potensinya ada. Perlu diingat bahwa sebentar lagi adalah ex-date perbankan dalam pembagian dividen, sehingga di momen itu akan ada koreksi dari market," kata Michael.
Ia pun menyarankan investor untuk meninjau kembali strategi portofolio saham mereka. "Saat itu adalah harga yang cukup menarik," ujarnya. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.