Dunia Merespons Tarif Trump: China Melawan, Eropa Bersiap, Asia Tenggara Negosiasi

Dunia Merespons Tarif Trump: China Melawan, Eropa Bersiap, Asia Tenggara Negosiasi

Terkini | idxchannel | Senin, 7 April 2025 - 05:14
share

IDXChannel - Dunia bereaksi cepat terhadap tarif balasan (reciprocal tariff) Presiden AS Donald Trump yang mulai berlaku 2 April 2025.

Menurut catatan Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia (NHKSI), Ezaridho Ibnutama, dalam risetnya pada Senin (7/4/2025), China langsung membalas dengan tarif serupa, sementara Uni Eropa menyiapkan paket respons senilai USD28 miliar.

Di Asia Tenggara, Vietnam, Thailand, dan Indonesia—tiga negara yang paling terdampak di kawasan ini—berupaya menegosiasikan dampak tarif tinggi yang mereka terima.

Beberapa negara lain, seperti India dan Korea Selatan, memilih jalur diplomasi untuk meredam ketegangan.

China Merespons Cepat dengan Tarif Balasan

China terkena tarif tertinggi hingga 49 persen, terutama pada sektor teknologi, baja, dan produk pertanian.

Sebagai tanggapan, Beijing langsung memberlakukan tarif balasan dengan nilai yang setara terhadap impor dari AS dan mengancam akan meningkatkan eskalasi jika Washington memperluas kebijakan tarifnya ke sektor keuangan atau produk digital.

Kementerian Perdagangan China menuduh AS telah "memanfaatkan defisit bilateral sebagai senjata perdagangan."

Uni Eropa Siapkan Paket Senilai USD28 Miliar

Uni Eropa hingga kini belum menerapkan tarif balasan, tetapi telah menyiapkan paket senilai USD28 miliar yang menargetkan sektor strategis AS seperti penerbangan, teknologi, dan pertanian. Pejabat Uni Eropa menegaskan bahwa kebijakan tarif AS melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan telah mengajukan keluhan resmi di Jenewa.

Dampak Tarif AS terhadap Asia Tenggara

Masih mengutip Ezaridho, negara-negara Asia Tenggara turut merasakan dampak kebijakan tarif timbal balik AS. Vietnam, Thailand, dan Indonesia menjadi tiga negara di kawasan yang terkena tarif tertinggi.

Vietnam, misalnya, menghadapi tarif tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 46 persen, akibat surplus perdagangan yang signifikan dengan AS serta dugaan praktik dumping dan manipulasi mata uang.

Pemerintah Vietnam telah meminta penundaan 45 hari untuk negosiasi, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh pejabat AS. Hanoi kini tengah melakukan pembicaraan tertutup dengan perwakilan dagang AS.

Kemudian, Thailand terkena tarif 36 persen karena surplus dagang besar serta hambatan non-tarif yang dinilai tidak transparan.

Thailand berupaya menempuh jalur diplomasi melalui ASEAN dan perundingan tertutup dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) guna mencari peluang pengurangan tarif, terutama pada sektor otomotif.

Indonesia dikenakan tarif 32 persen, menjadikannya negara Asia Tenggara ketiga yang paling terdampak.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, Indonesia tidak akan melakukan aksi balasan, melainkan akan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi teknis dengan Washington.

Pemerintah RI juga tengah merancang strategi dukungan bagi industri yang terdampak, seperti tekstil, karet, dan alas kaki, serta mendorong diversifikasi ekspor ke pasar Eropa dan Timur Tengah.

India, Taiwan, dan Korea Selatan Pilih Jalur Diplomasi

India dan Taiwan memutuskan untuk tidak melakukan pembalasan, kemungkinan sebagai strategi untuk mendapatkan kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan di masa depan.

Sementara itu, Korea Selatan tengah bernegosiasi untuk meningkatkan impor LNG dari AS sebagai upaya menjaga stabilitas perdagangan dan mengurangi dampak tarif.

Australia Menunda Negosiasi hingga Pemilu

Australia memilih untuk menunda perundingan dagang dengan AS hingga setelah pemilu federal pada 3 Mei 2025. Faktor politik domestik dan meningkatnya sentimen anti-Trump di Australia menjadi alasan utama di balik keputusan ini.

Meskipun demikian, kedutaan besar Australia di Washington masih aktif melakukan lobi untuk mendapatkan pengecualian tarif pada ekspor baja dan daging.

Dampak Jangka Panjang terhadap Perdagangan Global

NH Korindo Sekuritas melihat, gelombang tarif balasan ini menandai pergeseran besar dalam lanskap perdagangan global, dengan AS mencoba menguatkan kembali sektor manufaktur domestiknya.

Namun, kata NH Korindo, risiko terbentuknya blok perdagangan baru seperti pakta dagang antara Jepang, Korea Selatan, dan China bisa mengurangi pengaruh AS dalam jangka panjang.

Negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada investasi asing langsung (FDI) dan ekspor untuk pertumbuhan ekonomi dapat menghadapi tekanan struktural.

Indikator yang menjadi perhatian utama NH Korindo adalah penurunan Gross Output Indonesia, yang menunjukkan melemahnya aktivitas industri di luar konsumsi domestik.

Dalam era proteksionisme baru ini, negara-negara dengan ekonomi berbasis konsumsi perlu mengalihkan fokus ke produktivitas sisi penawaran dan integrasi ekonomi regional untuk menjaga daya saingnya di pasar global.

“Dalam paradigma proteksionisme yang baru ini, negara dengan ekonomi berbasis konsumsi perlu beradaptasi dengan meningkatkan produktivitas sektor produksi dan memperkuat integrasi regional,” demikian kata Ezaridho. (Aldo Fernando)

Topik Menarik