Alarm Resesi Global Menyala Dipicu Perang Dagang Trump dan Kejatuhan Pasar
IDXChannel - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street mengalami pekan terburuknya sejak 2020. Kejatuhan pasar ini dipicu tarif Trump dan perang dagang.
Indeks S&P 500 kehilangan hampir 7 persen selama lima hari perdagangan terakhir, dan Nasdaq 100 tergelincir ke wilayah pasar bearish untuk pertama kalinya sejak 2022.
Presiden Hussman Investment Trust, John Hussman mengatakan, kemerosotan ekonomi akan segera terjadi.
"Pengumuman tarif pada Rabu hanya memperkuat risiko resesi yang telah berkembang selama berbulan-bulan," tulis Hussman dalam sebuah catatannya, dikutip dari Business Insider, Minggu (6/4/2025).
Sementara JP Morgan menaikkan risiko resesi yang akan datang menjadi 60 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 40 persen.
"Kebijakan AS yang disruptif telah diakui sebagai risiko terbesar bagi prospek global sepanjang tahun," tulis bank tersebut dalam sebuah catatannya.
"Dengan demikian, kami menekankan kebijakan ini jika dipertahankan, kemungkinan akan mendorong AS dan mungkin ekonomi global ke dalam resesi tahun ini," tuturnya.
"Tindakan pemerintahan Trump minggu ini berpotensi tidak hanya menjerumuskan AS ke dalam resesi, tetapi juga menghancurkan ekonomi global," tulis Emily Bowersock Hill, CEO Bockersock Capital Partners dalam analisisnya.
"Negara lain, termasuk China sudah mulai membalas tarif AS, dan pembalasan itu akan memperlambat pertumbuhan global," ujar Hill.
Suku Bunga AS Berpotensi Dipangkas Lebih Cepat dan Besar-besaran
Di sisi lain, Kepala Strategi Investasi di Glenmede, Jason Pride mengatakan, Bank Sentral AS, The Fed dapat bereaksi terhadap pelemahan ekonomi dengan memangkas suku bunga, bahkan lebih cepat dari yang diantisipasi pasar.
Menurutnya, pemangkasan suku bunga sebanyak empat hingga lima kali kini nampaknya menjadi dasar baru untuk 2025.
"Masih terlalu dini untuk melihat dampak hilir dari kebijakan perdagangan di pasar kerja dan The Fed tidak mungkin menunggu bukti semacam itu sebelum menyesuaikan proses pemikirannya pada sikap kebijakan moneter yang tepat," kata Pride.
Senada, Kepala Perusahaan Keuangan GivTrade, Hassan Fawaz menuturkan, The Fed kemungkinan melakukan intervensi lebih cepat.
"Kami percaya bahwa Federal Reserve akan dipaksa untuk memangkas suku bunga segera untuk mengurangi risiko resesi besar-besaran jika ketegangan perdagangan tidak teratasi," kata Fawaz.
"The Fed kemungkinan akan memberikan beberapa stimulus selama beberapa bulan mendatang. Namun, ini adalah guncangan yang didorong oleh pemerintah, bukan guncangan yang didorong oleh bank sentral," kata Seema Shah, Kepala Strategi Global di Principal Asset Management.
Sementara itu, Gubernur The Fed, Jerome Powell pada Jumat lalu mengindikasikan, bank sentral wait and see karena tarif dapat mendongkrak inflasi.
"Kami berada dalam posisi yang baik untuk menunggu kejelasan yang lebih besar sebelum mempertimbangkan penyesuaian apapun terhadap sikap kebijakan kami," kata Powell dalam sebuah acara di Virginia.
Target Indeks Wall Street Direvisi ke Bawah
Investor meyakini prospek saham memburuk secara signifikan jika terjadi perang dagang yang berkepanjangan.
"Pasar saham yang sedang naik daun sudah mati, dan dihancurkan oleh para ideolog dan luka yang ditimbulkan sendiri," tulis Hill dari Bowersock.
"Kami telah merevisi target akhir tahun pada S&P 500 dari 6.000 menjadi 5.700," ujarnya.
Wedbush Securities melihat tantangan khusus yang akan dihadapi untuk perdagangan kecerdasan buatan (AI), yang telah berkembang pesat selama sebagian besar dari dua tahun terakhir.
"Konsep membawa AS kembali ke masa manufaktur pada periode 1980-an dengan tarif ini adalah eksperimen sains yang buruk yang dalam prosesnya akan menyebabkan kehancuran ekonomi dan menghancurkan perdagangan teknologi, revolusi AI, dan industri secara keseluruhan dalam prosesnya," tulis analis dalam sebuah catatan.
(Fiki Ariyanti)