Mengapa 6 Pesawat Pengebom Nuklir B-2 Amerika Serikat Muncul di Pulau Terpencil?
Citra satelit menunjukkan setidaknya enam pesawat pengebom B-2 berkemampuan nuklir Amerika Serikat (AS) muncul di Diego Garcia, pulau terpencil di Samudra Hindia. Pesawat-pesawat berbahaya itu telah dikerahkan ke sana sejak Maret.
Mengutip laporan ABC News yang menganalisis citra satelit, langkah AS itu merupakan unjuk kekuatan terbaru yang ditujukan terhadap Iran dan kelompok Houthi Yaman. Kehadiran enam pesawat pengebom B-2 di Diego Garcia—sebuah pangkalan militer rahasia di Samudra Hindia—menjadikan mereka berada dalam jarak serang terhadap Iran dan Yaman.
Penumpukan pesawat-pesawat di pulau Diego Garcia—yang mencakup sedikitnya sepertiga dari armada pengebom siluman Angkatan Udara—menyelesaikan tiga tugas dengan satu langkah strategis, meningkatkan kehadiran militer Amerika Serikat di wilayah tersebut, memungkinkan serangan berkelanjutan terhadap target di Yaman, dan mengirimkan pesan ke Iran, kata para pakar kepada ABC News.
Citra satelit dari Planet Labs PBC yang dianalisis oleh ABC News menunjukkan setidaknya enam pesawat pengebom B-2 pada 1 April di landasan Fasilitas Dukungan Angkatan Laut Diego Garcia, pangkalan Angkatan Laut Inggris yang disewakan kepada AS di sebuah pulau terpencil di Samudra Hindia.
Pesawat itu tidak terlihat dalam gambar yang diambil pada 25 Maret, tetapi pada tanggal 29 Maret, setidaknya empat pesawat terlihat di landasan.
"Pergerakan pesawat ke Diego Garcia jelas mengirimkan sinyal kepada Iran tentang sejauh mana mereka dalam bahaya, dan sejauh mana keseriusan yang dirasakan pemerintahan Trump sehubungan dengan berbagai tuntutannya," kata Daryl Press, direktur Prakarsa Keamanan Global Dartmouth College.
Pentagon baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka dengan cepat memperluas jejaknya di Timur Tengah dengan mengirimkan USS Carl Vinson—sebuah kapal induk yang mampu meluncurkan jet tempur siluman F-35—ke wilayah tersebut sebagai tambahan terhadap kelompok penyerang kapal induk USS Harry S Truman, karena Trump telah meningkatkan retorikanya terhadap Iran.
Trump telah mengancam akan "mengebom dengan cara yang belum pernah mereka lihat sebelumnya" jika Iran terus mendukung kelompok Houthi di Yaman dan menolak untuk menghentikan program nuklir mereka.
"Jika mereka tidak membuat kesepakatan, akan ada pengeboman," kata Trump dalam sebuah wawancara telepon dengan NBC News pada 30 Maret, satu hari setelah pesawat-pesawat pengebom mulai berkumpul di Diego Garcia.
"Mereka [pesawat-pesawat AS] akan melakukan pengeboman dengan cara yang belum pernah mereka [Iran] lihat sebelumnya," imbuh Trump.
Secara total, AS mengoperasikan 20 pesawat pengebom B-2, pesawat pengebom siluman jarak jauh yang harganya lebih dari USD1,1 miliar per pesawat, menurut Angkatan Udara AS. Setidaknya enam pesawat pengebom B-2 terlihat di Diego Garcia dari citra satelit yang ditinjau ABC News.
"Skuadron tambahan dan aset udara lainnya yang akan semakin memperkuat kemampuan dukungan udara defensif kami telah dikerahkan ke wilayah tersebut," kata Pentagon atau Departemen Pertahanan AS dalam sebuah pernyataan yang mengumumkan langkah tersebut, tetapi pejabat Pentagon tidak akan mengonfirmasi apakah itu merujuk pada pengerahan B-2 ke Diego Garcia.
Masih belum jelas apakah B-2 telah digunakan untuk melakukan serangan udara terhadap target Houthi di Yaman.
"Di masa lalu, jenis penumpukan di wilayah tersebut biasanya dapat dilihat sebagai defensif, atau demonstratif. Banyaknya B-2 ini menandakan niat dan kemampuan ofensif yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata kontributor penerbangan ABC News Kolonel Steve Ganyard.
Menurut Press, pergerakan B-2 ke Samudra Hindia memperluas kemampuan AS di kawasan tersebut dengan memungkinkannya untuk menyerang target berulang kali dengan waktu pengisian bahan bakar yang lebih singkat bagi pesawat.
B-2 menghadirkan "kemampuan yang benar-benar unik" bagi militer AS dengan memadukan kemampuan untuk membawa bom berat—termasuk penghancur bunker yang berpotensi merusak situs pengayaan nuklir Iran yang dijaga ketat—dengan kemampuan untuk terbang tanpa terdeteksi oleh radar, imbuh Press.
"Saya berekspektasi B-2 dapat beroperasi di atas pertahanan udara Iran mana pun dengan risiko minimal, dengan peringatan bahwa negara-negara di seluruh dunia terus berinovasi dan berbagi teknologi untuk mencoba menemukan, melacak, dan menghancurkan pesawat ini," kata Press kepada ABC News.
Visibilitas keenam pesawat tersebut kemungkinan besar dimaksudkan untuk mengirim pesan ke Iran, menurut Press, yang mencatat bahwa Angkatan Udara AS memiliki kemampuan untuk meluncurkan pesawat pengebom jarak jauh dari benua Amerika Serikat.
Memindahkan pesawat pengebom ke Samudra Hindia secara nominal meningkatkan daya serang militer sekaligus menyampaikan pesan ke Iran dan Houthi.
"Hanya karena pergerakan pesawat pengebom adalah sebuah sinyal, bukan berarti itu gertakan, dalam artian bahwa unjuk kekuatan yang sama yang berdampak pada pemaksaan Iran juga merupakan persiapan untuk penggunaan kekuatan, jika memang diperlukan," kata Press.
Pergerakan B-2 tampaknya sejalan dengan strategi yang lebih luas untuk memindahkan aset militer ke kawasan tersebut guna memperkuat posisi Amerika Serikat, menurut Dana Stroul, Direktur Riset di The Washington Institute for Near East Policy dan mantan Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk Timur Tengah selama pemerintahan Joe Biden.
"Apa yang mereka lakukan adalah serangkaian peningkatan postur di seluruh Timur Tengah untuk memperkuat pernyataan Trump untuk menggunakan kekuatan militer jika diplomasi gagal." katanya.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei juga bersumpah untuk memberikan "pukulan keras dan timbal balik" jika Amerika Serikat menyerang Iran terlebih dahulu.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan Iran bersedia terlibat dalam negosiasi tidak langsung dengan AS setelah pemerintahan Trump mengirim surat resmi kepada Iran yang meminta untuk memulai kembali hubungan diplomatik dengan negara tersebut.
Trump menarik diri dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran selama masa jabatan pertamanya.
JCPOA adalah kesepakatan antara Iran dengan negara-negara besar termasuk AS, yang dinegosiasikan selama pemerintahan Barack Obama, dirancang untuk membatasi pengembangan senjata nuklir Iran.
Sejak menjabat kembali pada bulan Januari tahun ini, Trump telah mencoba untuk melibatkan kembali Iran dalam pembicaraan diplomatik mengenai pengembangan senjata nuklir mereka, dengan mengancam eskalasi militer jika diplomasi tidak tercapai.
"Tidak seorang pun di kawasan tersebut menginginkan lebih banyak perang, dan tantangan dengan Amerika Serikat yang menggunakan kekuatan militer terhadap Iran adalah apakah hal itu dapat dibendung atau tidak...atau apakah ini meningkat menjadi Perang Dunia III di Timur Tengah," kata Stroul.