Pembantaian Zionis Israel di Palestina Kian Brutal, Mengapa Dunia Diam?
Pembantaian Zionis Israel terhadap rakyat Palestina terhenti sesaat di Jalur Gaza ketika kesepakatan tahap pertama gencatan senjata tercapai dengan Hamas dua bulan lalu.
Namun warga Palestina terbangun pada Senin (17/3/2025) malam oleh gelombang serangan udara Israel yang ganas, dan berarti dimulainya kembali pembantaian tersebut, bahkan lebih brutal.
Lebih dari 400 orang—banyak dari mereka anak-anak—dibantai dalam hitungan jam, dalam serangan yang dilaporkan mendapat "lampu hijau" dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Kejahatan yang disaksikan komunitas dunia internasional ini ini segera diikuti oleh perintah evakuasi—yaitu, pemindahan paksa—yang meningkatkan kemungkinan operasi darat baru.
Alasan Israel? Klaim palsu bahwa Hamas belum mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang disepakai pada bulan Januari—ketentuan yang telah dilanggar berulang kali oleh Israel sendiri.
Setelah kejahatan brutal terbaru tersebut, CNN melaporkan bahwa serangan Israel menimbulkan "keraguan terhadap gencatan senjata yang rapuh".
Owen Jones, seorang kolumnis Guardian, mengkritisi situasi yang terjadi, yang menurutnya tidak ada apa yang disebut "gencatan senjata".
Sudah 150 warga Palestina tewas di Gaza selama "gencatan senjata" tersebut, dan puluhan lainnya dibantai di Tepi Barat.
Menurutnya, banyak contoh bagaimana kekerasan Israel terus-menerus dibiarkan dan kehidupan warga Palestina dilucuti dari makna apa pun.
"Jika hanya satu tentara Israel yang terbunuh oleh militan Hamas, saya perkirakan banyak politisi dan media akan segera mengumumkan gencatan senjata berakhir. Narasi yang sama inilah yang membuat kita percaya bahwa perdamaian telah tercapai sebelum 7 Oktober, bahkan ketika 238 warga Palestina—44 di antaranya anak-anak—telah tewas dalam sembilan bulan sebelumnya," tulis Jones.
Generasi mendatang mungkin bertanya: "Bagaimana kejahatan yang tidak senonoh itu bisa berlangsung begitu lama?"
Lagi pula, berkat ponsel dan internet, tidak ada kejahatan dalam sejarah yang didokumentasikan dengan baik oleh para korbannya seperti yang terjadi. Seperti yang telah Israel lakukan selama 529 hari, para penyintas Gaza mengunggah bukti pemusnahan mereka sendiri di media sosial, berharap—meski sia-sia—bahwa cukup banyak hati nurani yang akan tertusuk untuk mengakhiri genosida oleh Zionis Israel.
Mengapa Dunia Bungkam Melihat Israel Leluasa Bantai Rakyat Palestina?
Kelompok perlawanan Palestina yang berbasis di Gaza, Hamas, pada awal Maret lalu memperingatkan tentang konsekuensi dari kebungkaman dunia internasional yang terus-menerus tentang kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina, termasuk pemindahan paksa dan pembongkaran rumah-rumah di kamp-kamp pengungsi di seluruh Tepi Barat yang diduduki."Hamas mendesak PBB dan lembaganya untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menghentikan pelanggaran hukum internasional yang terus-menerus dan mengerikan oleh Israel," demikian pernyataan kelompok tersebut.
Hamas mengutuk pembongkaran rumah dan bangunan tempat tinggal oleh Israel di kamp Nur Shams, sebelah timur Tulkarem di Tepi Barat utara, beserta pemindahan paksa warga Palestina dengan todongan senjata.
Hamas menggambarkan tindakan Israel sebagai "pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan kejahatan perang terang-terangan yang dilakukan di hadapan dunia."
Kelompok itu juga mengecam operasi militer Israel di Tepi Barat dan "teror sistematis" terhadap warga Palestina, menyebutnya sebagai "upaya putus asa dan sia-sia untuk mematahkan semangat perlawanan."
Pada awal Maret, militer Israel menghancurkan tembok 11 rumah di lingkungan al-Manshiya di kamp pengungsi Noor Shams, tempat operasi militer telah berlangsung selama 21 hari.
Mereka telah melakukan operasi di Tepi Barat utara sejak 21 Januari, menewaskan sedikitnya 64 korban dan membuat ribuan orang mengungsi.
Otoritas Palestina telah memperingatkan bahwa serangan itu merupakan bagian dari rencana yang lebih luas oleh pemerintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mencaplok Tepi Barat dan mendeklarasikan kedaulatan atasnya, yang dapat menandai berakhirnya solusi dua negara.
Penggerebekan itu merupakan yang terbaru dalam eskalasi militer di Tepi Barat, di mana sedikitnya 927 warga Palestina telah tewas dan hampir 7.000 orang terluka dalam serangan oleh tentara Israel dan pemukim ilegal sejak dimulainya serangan terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Mahkamah Internasional menyatakan pada bulan Juli 2024 bahwa pendudukan Israel yang telah berlangsung lama atas wilayah Palestina adalah "melanggar hukum", menuntut evakuasi semua permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Negara-negara Arab Juga Tidak Bertindak
Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese pernah terang-terangan menyebut Israel melakukan pembersihan etnis Palestina di Tepi Barat. Dia juga mengecam negara-negara Arab yang tidak berani melawan tindakan rezim Zionis tersebut.Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, pejabat PBB tersebut menggambarkan apa yang terjadi di Tepi Barat dan posisi negara-negara Arab sebagai hal yang mengejutkan.
Dia dan menyatakan keterkejutannya atas klaim tentang keterbatasan kemampuan negara-negara Arab untuk bertindak.
Dia mengatakan situasi saat ini memberikan kesempatan penting untuk menyatukan suara Arab dalam membela Palestina, daripada hanya berbicara tentang membangun kembali Gaza, bahkan ketika “genosida terus berlanjut”.
Albanese menekankan bahwa apa yang dilakukan Israel di Tepi Barat memalukan dan ilegal, tetapi tidak mengejutkan.
“Kekerasan genosida,” katanya. “Telah terjadi sejak sebelum 7 Oktober 2023,” katanya lagi.
Lebih jauh, dia menuduh beberapa negara Arab berkonspirasi melawan Palestina. Dia menunjukkan bahwa seluruh dunia tahu Israel berusaha mengendalikan apa yang tersisa dari Palestina, mengulangi di Tepi Barat apa yang telah dilakukannya di Gaza, karena ingin semua warga Palestina meninggalkan tanah mereka.
Sementara itu, negara-negara Arab dan masyarakat internasional tidak melakukan apa pun.
"Berapa banyak peringatan yang perlu diterima masyarakat internasional?" tanya dia,yang dilansir dari Palestine Chronicle.
Albanese memperingatkan bahwa tindakan Israel di Tepi Barat merupakan “ujian lakmus” atas kampanye pembersihan etnisnya, yang menyebabkan 40.000 warga Palestina mengungsi hanya dalam waktu satu bulan, sembari mengkritik bias media dan ketidakpedulian dunia internasional.
“Kebenaran dan akurasi hilang dari liputan wilayah Palestina yang diduduki,” ujarnya.
"Saya telah berbicara dengan wartawan yang telah diberi tahu untuk tidak menyebutkan genosida dan apa yang sedang terjadi,” imbuh dia.
Ini bukan hanya media Israel, kata Albanese, tetapi juga media Barat dan internasional.
“Hal ini harus diselidiki, karena telah membantu menciptakan lingkungan yang mendukung terjadinya genosida,” paparnya.
Albanese menegaskan bahwa pemindahan paksa telah menjadi hal yang terus-menerus terjadi di Palestina yang diduduki sejak Nakba. “Ratusan ribu warga Palestina telah mengungsi.
Lebih dari 350.000 orang mengungsi pada tahun 1967, dan Israel menghancurkan semua yang mereka tinggalkan, mencegah mereka untuk kembali,” kata Albanese.