Ukraina Setuju Gencatan Senjata 30 Hari, Ini Respons Rusia

Ukraina Setuju Gencatan Senjata 30 Hari, Ini Respons Rusia

Global | sindonews | Kamis, 13 Maret 2025 - 01:00
share

Ukraina telah setuju untuk gencatan senjata selama 30 hari dengan Rusia sesuai usulan Amerika Serikat (AS). Namun, Moskow tidak serta merta setuju.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova menolak untuk menjelaskan secara spesifik keputusan Moskow.

"Pembentukan posisi Federasi Rusia [akan] terjadi di dalam Federasi Rusia," katanya, seperti dikutip BBC, Kamis (13/3/2025).

Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov memilih menghindari isu tersebut.

"Jangan terburu-buru," katanya, seraya menambahkan bahwa Moskow "membiasakan diri" dengan pernyataan bersama yang dikeluarkan di Jeddah.

Ada laporan bahwa utusan AS Steve Witkoff akan melakukan perjalanan ke Moskow pada hari Kamis, dan Peskov mengatakan pers akan terus diberi informasi.

Selain itu, tidak ada komentar dari Kremlin.

Presiden Rusia Vladimir Putin tidak diragukan lagi sedang mempertimbangkan dengan seksama apakah akan menerima usulan gencatan senjata, menolaknya, atau menuntut amandemen terhadapnya.

Ide untuk menolak-atau mengubah-usulan gencatan senjata tampaknya mendapatkan perhatian paling besar di antara para komentator.

"Jika [Putin] menerima usulan AS, itu akan mengarah pada situasi yang berbahaya," kata pakar pro-Kremlin yang juga mantan ajudan Putin, Sergei Markov, kepada BBC.

Alasannya, kata dia, tentara Rusia saat ini memiliki keunggulan di garis depan dan mungkin akan kehilangan momen tersebut.

Ada juga kekhawatiran bahwa Ukraina dapat menggunakan gencatan senjata selama sebulan untuk mempersenjatai kembali, sehingga Rusia dapat mengajukan beberapa persyaratan, seperti menuntut diakhirinya pasokan senjata Barat ke Kyiv.

"Syaratnya adalah selama periode ini, embargo harus diberlakukan pada pasokan senjata ke Ukraina...Eropa harus mendukung gencatan senjata di Eropa, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan," kata Markov.

Jika Putin menerima usulan AS tersebut, Markov bersugesti opini publik dapat menjadi faktor. "Masyarakat Rusia lelah dengan perang," ujarnya.

Meskipun benar bahwa beberapa survei baru-baru ini menunjukkan semakin banyaknya persentase penduduk Rusia yang mendukung pelaksanaan perundingan damai dengan Ukraina, masih jauh dari jelas bahwa opini publik akan memengaruhi keputusan Putin.

Jalan potensial lain bagi Rusia adalah menerima gencatan senjata dan kemudian menyalahkan pelanggaran apa pun pada "provokasi" Ukraina, dengan harapan mendiskreditkan Kyiv di mata Presiden AS Donald Trump.

Setelah Rusia merebut Crimea pada tahun 2014, banyak upaya dilakukan untuk melaksanakan gencatan senjata antara Moskow dan Kyiv. Semuanya gagal.

Jika upaya ini berhasil, itu akan menjadi sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di luar kebungkaman Kremlin, pengumuman proposal gencatan senjata—yang paling rinci dari jenisnya sejak dimulainya perang Moskow di Ukraina—dibahas secara terbuka di media Rusia.

Dalam beberapa kasus, ada kegembiraan atas apa yang mereka lihat sebagai Ukraina yang tunduk pada tuntutan AS, di mana surat kabar Komsomolskaya Pravda berpendapat Gedung Putih telah "mengalahkan" Kyiv.

"Mereka mendengar dari Ukraina persis kata-kata yang ingin mereka dengar," tulis surat kabar tersebut.

Namun, perasaan yang sangat kuat di antara banyak komentator dan anggota Parlemen Rusia adalah skeptisisme, terutama mengingat keputusan AS untuk melanjutkan pengiriman intelijen dan senjata ke Kyiv.

Anggota Parlemen Viktor Sobolev mengatakan gencatan senjata sementara hanya akan menguntungkan Ukraina karena akan memungkinkan mereka untuk "berkumpul kembali dalam 30 hari, mengisi kembali barisan mereka dan diisi ulang dengan drone".

Ada pula dorongan untuk menyoroti kemenangan tentara Rusia di wilayah Kursk, yang sebagian wilayahnya telah diduduki Kyiv sejak musim panas lalu—dan untuk menunjukkan bahwa Rusia memiliki keunggulan di medan perang.

Pada Rabu pagi, gambar tentara Rusia yang merebut kembali Sudzha—kota terbesar yang berhasil direbut Ukraina di wilayah Kursk—tersebar luas di televisi Rusia dan saluran Telegram populer, disertai dengan pujian yang meluap-luap atas kerja "berani" pasukan Moskow.

"Kondisi nyata untuk negosiasi kini tengah diciptakan oleh orang-orang heroik kita—di sepanjang garis depan," tulis surat kabar Moskovsky Komsomolets.

Terlepas dari obrolan-obroal tersebut, keputusan akhir--seperti yang selalu terjadi di Rusia saat ini-akan berada di tangan Vladimir Putin.

Dia, seperti Trump, merupakan tokoh sentral dalam kesepakatan ini. "Kami...tidak mengesampingkan perlunya percakapan telepon di tingkat tertinggi," kata Peskov pada Rabu pagi—yang berarti kontak langsung antara kedua presiden sudah di depan mata.

Beberapa orang Rusia mungkin percaya bahwa ini juga merupakan jalan yang disukai Trump.

"Berdasarkan pengakuannya sendiri, dia membuat kesepakatan hanya dengan 'bos'," bunyi siaran media pemerintah Rusia, RIA Novosti.

"Ini berarti tidak akan ada kesepakatan dengan 'tim', 'perwakilan', dan 'utusan'. Kesepakatan yang mungkin hanya bisa terjadi antara Putin dan Trump," lanjut siaran tersebut.

Topik Menarik