Tanggapan Korea Utara tentang Darurat Militer di Korea Selatan

Tanggapan Korea Utara tentang Darurat Militer di Korea Selatan

Global | okezone | Rabu, 11 Desember 2024 - 15:12
share

PYONGYANG - Presiden Yoon Suk Yeol dari Korea Selatan mengumumkan darurat militer pada Minggu (8/12/2024). Namun status tersebut hanya bertahan sekitar enam jam sebelum akhirnya dicabut. 

Keputusan Yoon untuk mengirim pasukan bersenjata ke Gedung Parlemen guna mencegah pemungutan suara menentang darurat militer memicu tuduhan pemberontakan. Para penyelidik sedang memeriksa apakah Yoon dan pejabat lainnya terlibat dalam tindakan tersebut.

Jika terbukti bersalah, Yoon bisa menghadapi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Mantan Menteri Pertahanan Yoon juga ditangkap terkait dugaan pemberontakan. 
Yoon mengklaim, dia mengumumkan darurat militer karena keputusasaan atas oposisi yang mengganggu pemerintahannya.

Namun, menurut Ketua Asosiasi Pengacara Korea, Kim Young Hoon, keluhan tersebut tidak cukup untuk menjadi alasan mengumumkan darurat militer. Selain itu, Yoon tidak langsung memberitahukan Majelis Nasional tentang deklarasi darurat militer, padahal itu adalah kewajiban menurut hukum.

"Jelas bahwa deklarasi darurat militer Presiden Yoon gagal memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Konstitusi," kata Kim sebagaimana yang dilansir dari The New York Times.

Di sisi lain, Korea Utara akhirnya memberikan komentar mengenai kerusuhan politik yang terjadi di Korea Selatan. Media negara tersebut menggambarkan dengan tegas bagaimana Presiden Yoon Suk Yeol telah memicu "diktator terhadap rakyat" melalui percobaan darurat militer yang gagal.

Melalui The Guardian, komentar tersebut dipublikasikan pada Rabu (11/12/2024) oleh kantor berita KCNA yang dikelola oleh Korea Utara. Ini adalah pertama kalinya rezim Korea Utara memberikan tanggapan terbuka mengenai kekacauan yang terjadi setelah upaya Presiden Yoon untuk memberlakukan darurat militer pekan lalu. Yoon beralasan bahwa langkah tersebut diperlukan untuk memberantas pasukan pro-Korea Utara yang anti-negara.

"Boneka Yoon Suk Yeol, yang telah menghadapi krisis pemerintahan dan pemakzulan yang serius, secara tak terduga menyatakan darurat militer dan melepaskan senjata kediktatoran fasis pada rakyat," lapor KCNA.

 

Menurut media Korea Utara, tindakan tersebut digambarkan sebagai perbuatan "gila," dan Yoon bahkan disebut sebagai pemimpin dari "negara gangster."

Profesor Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha Seoul menyatakan, negara-negara seperti Rusia, China, dan terutama Korea Utara, kemungkinan besar mengamati kerusuhan politik di Korea Selatan dengan gembira, karena mereka melihat potensi keuntungan geopolitik.

"Tatanan otoriter percaya bahwa jika mereka berhasil mempertahankan kekuasaan, mereka bisa lebih lama bertahan dibandingkan dengan rival demokratis yang akhirnya merusak diri mereka sendiri, terjerumus dalam disfungsi, dan jatuh dari sekutu-sekutu mereka," kata Easley.

Artikel yang diterbitkan oleh Korea Utara, dan juga dimuat di Rodong Sinmun, surat kabar resmi Partai Pekerja Korea, melaporkan pada Selasa (10/12/2024), tentara dan helikopter militer dikerahkan untuk mencegah anggota parlemen Korea Selatan memasuki gedung parlemen.

"Komunitas internasional dengan tegas mengawasi, dengan penilaian bahwa insiden darurat militer ini mengungkapkan kerentanannya masyarakat Korea Selatan … dan bahwa kehidupan politik Yoon Suk Yeol bisa segera berakhir," bunyi laporan tersebut.

Artikel ini juga membahas protes besar yang terjadi, ketika anggota Partai Kekuatan Rakyat Yoon memboikot mosi oposisi untuk memakzulkan presiden pada Sabtu (07/12/2025) malam. Foto-foto protes, yang memperlihatkan orang-orang dengan glow stick K-pop dan spanduk pemakzulan, turut dimuat.

"Tindakan gilanya … telah menuai kecaman keras dari semua kalangan, termasuk partai oposisi, dan semakin memicu semangat publik untuk pemakzulan," tambahnya.

Belum jelas mengapa media negara Korea Utara baru memberikan komentar setelah waktu yang lama, mengingat kritik yang sering dilontarkan terhadap Yoon, seorang konservatif garis keras yang sejak menjabat pada tahun 2022 berusaha mengisolasi Korea Utara.
 

Topik Menarik