Lembaga Ilmiah Paling Bergengsi di Inggris Sebut Israel Melakukan Genosida
Oxford Union telah memutuskan bahwa rezim apartheid Israel bertanggung jawab atas genosida warga Palestina di Jalur Gaza.
Rezim Israel melancarkan perang terhadap warga Gaza pada 7 Oktober 2023, menyusul operasi balasan oleh warga Palestina.
Sejak saat itu, rezim tersebut telah menewaskan sedikitnya 44.363 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai 105.070 lainnya, yang memaksa hampir seluruh penduduk wilayah Palestina meninggalkan rumah mereka.
Perkumpulan mahasiswa yang dibentuk pada tahun 1823 di Oxford, Inggris, memberikan suara untuk usulan tersebut setelah perdebatan sengit antara pembicara dari kelompok pro-Palestina dan pendukung Israel.
Oxford Union mengadakan perdebatan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Kamis malam mengenai usulan tersebut: "Dewan ini meyakini Israel adalah negara apartheid yang bertanggung jawab atas genosida." Usulan tersebut disetujui dengan suara mayoritas 278 berbanding 59.
Seorang pembicara pro-Israel, Yoseph Haddad, bahkan disuruh meninggalkan ruang sidang karena kurang sopan setelah menyebut hadirin sebagai "pendukung teroris" ketika ia dicemooh selama pidatonya.
Para pembicara yang mendukung usulan tersebut termasuk Presiden Serikat Ebrahim Osman Mowafy, aktivis dan penulis Israel-Amerika Miko Peled, penyair Palestina Mohammed El-Kurd, dan penulis terkemuka Susan Abulhawa.
Peled menggambarkan operasi 7 Oktober itu sebagai "heroik". Menurut surat kabar mahasiswa Universitas Oxford, Cherwell, ia menggambarkan Operasi Banjir Al-Aqsa sebagai "tindakan kepahlawanan dari orang-orang yang tertindas."
Osman-Mowafy, yang menggantikan akademisi Amerika terkemuka Norman Finkelstein yang tidak dapat hadir, berbicara tentang Shaban al-Daloum yang berusia 19 tahun, yang terbakar hidup-hidup dalam serangan udara Israel di sebuah rumah sakit Gaza, dan menggambarkan kematian itu sebagai bagian dari "holocaust" yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza.
Debat Oxford Union itu terjadi beberapa hari setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri urusan militernya Yoav Gallant atas genosida terhadap warga Palestina.
Susan Akram, direktur Klinik Hak Asasi Manusia Internasional di Sekolah Hukum Universitas Boston, menekankan peran yang perlu dimainkan oleh masyarakat sipil untuk meningkatkan tekanan pada Tel Aviv agar mengakhiri perang.
Pendapat publik dan masyarakat sipil memiliki peran besar dalam menekan pemerintah mereka untuk mematuhi ICC. Faktanya, masyarakat sipil telah memainkan peran penting dalam mengajukan bukti kepada ICC dan ICJ yang telah berkontribusi pada keputusan dan perintah pengadilan, kata Akram.
Jika Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant dimintai pertanggungjawaban oleh Pengadilan Kriminal Internasional, itu akan menjadi langkah besar bagi keadilan internasional, kata seorang pakar hukum yang berbasis di AS.
Melansir Press TV, serangan berdarah rezim di Gaza sejauh ini telah menewaskan 44.363 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai 105.070 lainnya.
Selain itu, sedikitnya 10.000 orang tidak diketahui keberadaannya, diduga tewas di bawah reruntuhan rumah mereka di seluruh wilayah tersebut.
Israel juga telah melakukan kejahatan perang seperti membuat penduduk kelaparan dan secara sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil di wilayah yang dikepung.