Awal Ramadhan 2025 Berpotensi Berbeda, Puasa Tanggal Berapa?

Awal Ramadhan 2025 Berpotensi Berbeda, Puasa Tanggal Berapa?

Gaya Hidup | inews | Senin, 24 Februari 2025 - 15:09
share

JAKARTA, iNews.id – Awal Ramadhan 2025 berpotensi berbeda. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama kemungkinan akan menetapkan awal puasa 1 Ramadhan 1446 H/2025 tanggal 2 Maret 2025. Sedangkan Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan jatuh 1 Maret 2025.

Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Pusat Riset Antariska BRIN, Profesor Thomas Djamaludin mengungkapkan, potensi perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan 2025 / 1446 Hijriah terjadi karena posisi hilal pada 28 Februari sulit diamati atau gagal rukyat di sebagian besar wilayah Indonesia. Sehingga, kemungkinan besar 1 Ramadhan 2025 jatuh 2 Maret 2025.

Dia menuturkan, posisi bulan saat magrib 28 Februari 2025 di Banda Aceh tinggi toposentrik 4,5 derajat dan elongasi geosentrik 6,4 derajat sedikit melebihi kriteria MABIMS yakni tinggi lebih dari 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. 

“Posisi bulan saat magrib 28 Februari 2025 di Surabaya tinggi toposentrik 3,7 derajat dan elongasi 5,8 derajat. Kurang dari kriteria MABIMS,” katanya dikutip dari channel tdjamaludin, Senin (24/2/2025).

Menurut Djmalaudin, posisi bulan yang terlalu dekat dengan matahari dan ketinggiannya masih cukup rendah menunjukkan posisi bulan untuk penentuan awal Ramadhan sulit diamati. Sehingga, kemungkinan gagal rukyat sangat besar.  

“Tunggu sidang itsbat. Ada kemungkinan 1 Ramadhan 1446 tanggal 2 Maret 2025 karena kemungkinan gagal rukyat,” katanya.

Menyikapi kemungkinan potensi gagal rukyat hilal untuk penentuan awal Ramadhan 2025, kata dia, ada dua kemungkinan keputusan yang bisa diambil dalam sidang isbat 28 Februari 2025.

“Pertama, tetap konsisten dengan kriteria dan merujuk fatwa MUI 1982, isdang isbat diusulkan tetap mengambil hasil hisab yang sudah memenuhi kriteria di Aceh untuk 1 ramadhan yakni 1 Maret. Kedua, sidang isbat diusulkan mengambil keputusan berdasarkan hasil rukyat karena di sebagian besar wilayah Indonesia hilal pun tidak mungkin dirukyat. Seingga 1 Ramadhan jatuh 2 Maret 2025,” papar Thomas Djamaludin.

Menurut Thomas, dua pilihan itu mempunyai alasan yang kuat dan tidak menyalahi prinsip penggunaan imkanurrukyat. Menteri Agama perlu mendengar semua pandangan perwakilan ormas Islam dan pakar untuk mengambil keputusan dengan pertimbangan kemaslahatan umat dalam sidang Isbat yang akan digelar Jumat, 28 februari 2025.

“Saya pribadi akan ikut keputusan pemerintah pada sidang isbat, apa pun hasilnya. Karena sidang isbat ini dihadiri pakar astronomi dan ahli falak, pakar fikih, perwakilan ormas Islam. Sidang isbat juga memperimbangkan aspek astronomis, aspek fikih dan aspek kemaslahatan ummat,” katanya. 

Sidang Isbat Tanggung Jawab Negara

Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar Sidang Isbat (penetapan) awal Ramadan 1446 Hijriah pada 28 Februari 2025. Sidang tersebut akan menentukan awal bulan puasa bagi umat Islam di Indonesia.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama, Abu Rokhmad menegaskan, sidang isbat merupakan salah satu bentuk layanan keagamaan yang harus dijalankan oleh pemerintah. Hal itu disampaikannya saat membuka Catch the Moon di Auditorium HM Rasjidi, Kementerian Agama, Jakarta, Senin (24/2/25).

“Sidang isbat, hisab, dan rukyat adalah bentuk layanan keagamaan yang diberikan pemerintah kepada umat Islam. Ini bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari peran negara dalam memastikan kepastian hukum dan ketertiban dalam praktik ibadah,” ujarnya di hadapan peserta yang terdiri dari akademisi, santri, mahasiswa, dan pemerhati ilmu falak.

Dia menjelaskan, layanan keagamaan ini setara dengan layanan haji, umrah, pendidikan agama, hingga sertifikasi halal. Oleh karena itu, pelaksanaan sidang isbat adalah bagian dari tanggung jawab negara terhadap umat.

Dijelaskan Abu Rokhmad, sidang isbat bukan sekadar acara seremonial, tetapi forum resmi yang menentukan awal bulan Hijriah berdasarkan metode ilmiah dan syariat. Manfaatnya juga sangat besar karena memberi kepastian bagi umat dalam menjalankan ibadah seperti puasa dan Idulfitri.

Guru Besar UIN Walisongo Semarang itu juga mengungkapkan perbedaan metode dalam penentuan awal bulan Hijriah, yang kerap menjadi dinamika di masyarakat. Menurutnya, metode hisab dan rukyat sama-sama memiliki dasar ilmiah dan keagamaan yang kuat, serta merupakan bagian dari kekayaan intelektual Islam yang harus dihormati.

“Hisab adalah metode perhitungan astronomi untuk menentukan posisi bulan secara matematis, tanpa perlu melakukan observasi langsung. Sementara itu, rukyat adalah metode pengamatan langsung hilal (bulan sabit pertama) di ufuk setelah matahari terbenam. Kedua metode ini memiliki landasan ilmiah dan keagamaan yang kuat serta telah digunakan dalam sejarah Islam. Perbedaan ini adalah fakta yang harus kita akui. Yang terpenting, kita tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan mengedepankan toleransi dalam menyikapi perbedaan,” tegasnya.

Ia menegaskan, selama ini Kemenag telah melibatkan berbagai pihak, termasuk ormas Islam, lembaga astronomi, dan akademisi dalam sidang isbat untuk memastikan keputusan yang diambil bersifat kolektif dan dapat diterima semua pihak.

“Kita harus mengedepankan ukhuwah Islamiyah dan tidak menjadikan perbedaan metode sebagai alasan perpecahan. Sidang isbat justru menjadi momentum untuk memperkuat kebersamaan dalam keberagaman pandangan,” katanya.

Topik Menarik