Efek Tarif Trump: Wall Street Anjlok, S&P 500 Terjun Bebas
JAKARTA - Bursa saham AS, Wall Street anjlok setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor pada sejumlah mitra dagangnya. Indeks S&P 500 mengalami penurunan harian terbesar sejak 2020 di perdagangan Kamis waktu setempat.
Keputusan Trump mengumumkan tarif perdagangan baru memicu kekhawatiran akan perang dagang besar-besaran yang dapat menyebabkan resesi global.
Mengutip Investing, indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 1.679,4 poin atau 3,98 ke 40.545, S&P 500 turun 4,84 ke 5.396, sementara Nasdaq Composite merosot 5,97 ke 16.550.
Ekonom High Frequency Economics, Carl Weinberg menilai kebijakan tarif Trump dapat mengurangi produk domestik bruto (PDB) AS hingga 10 pada kuartal II-2025. Kemudian berpotensi mendorong ekonomi AS ke dalam resesi setelah kontraksi kecil yang diprediksi pada kuartal pertama.
Weinberg juga memperkirakan tarif akan mengurangi pendapatan rumah tangga atau keuntungan korporasi AS hingga USD741 miliar, atau lebih jika memasukkan tarif pada baja, aluminium, serta perdagangan dengan Kanada dan Meksiko.
Sementara itu, UBS memperkirakan bahwa jika tarif ini tetap berlaku, PDB riil AS dapat turun 1,5 hingga 2 poin persentase pada 2025, sementara inflasi dapat mencapai 5.
Analis UBS pun memperingatkan bahwa situasi ini berpotensi memperburuk keseimbangan pertumbuhan dan inflasi di AS serta ekonomi global dalam tahun mendatang.
UBS juga telah menurunkan target jangka pendek S&P 500 menjadi 5.300, namun memperingatkan bahwa ketidakpastian tarif dapat mendorong indeks turun di bawah 5.000.
Sebelumnya, Trump mengumumkan tarif baru yang mencakup bea masuk 10 pada semua impor, serta tarif lebih tinggi untuk negara-negara yang dianggap sebagai aktor buruk.
China menghadapi tambahan tarif 34 di atas bea masuk 20 yang sudah berlaku. Uni Eropa, Jepang, dan negara lain akan dikenakan tarif antara 20 hingga 49.
Tarif umum ini mulai berlaku pada 5 April, sementara tarif khusus negara tertentu akan diterapkan mulai 9 April. Trump beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi industri dalam negeri AS serta mengurangi utang nasional.
Namun, pengumuman ini memicu reaksi negatif dari para analis dan investor.
"Tarif yang diumumkan lebih agresif dari perkiraan, terutama bagi Eropa dan China, dengan tarif mencapai 20 hingga 54," tulis Analis Barclays dalam sebuah catatan.
Mereka memperingatkan bahwa ketidakpastian akibat tarif ini dapat meningkatkan risiko resesi, membuat pasar saham berpotensi mengalami tekanan lebih lanjut sebelum pulih.