Tarif Royalti Tambang Naik, Pengusaha Nikel Ancam Tak Lanjut Produksi
JAKARTA - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyatakan rencana kenaikan tarif royalti tambang akan menambah beban operasional para pengusaha. Pasalnya pengeluaran royalti akan lebih besar di tengah harga komoditas mineral yang belum mengalami kenaikan.
1. Kenaikan Tarif Royalti
Meidy menjelaskan, kenaikan tarif royalti bukan satu-satunya beban tambahan yang dialami para pengusaha mulai tahun 2025. Sebab bersamaan, pemerintah juga menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12, yang mana alat berat tambang masuk kategori barang mewah.
Belum lagi menurutnya kebijakan baru pemerintah soal DHE (Devisa Hasil Ekspor) SDA (Sumber Daya Alam). Sehingga pengusaha wajib menyetorkan seluruh pendapatannya ke instrumen keuangan Indonesia selama 12 bulan. Selain itu ada juga kebijakan soal global minimum tax (GMT) yang naik menjadi 15, sehingga pelaku usaha yang berorientasi ekspor perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar pajak.
"Kalau kami dibebankan lagi (kenaikan royalti tambang) tentu perusahaan akan berfikir, akan melanjutkan produksi atau ini. Ini tentu menjadi kendala kita," ujarnya dalam Market Review IDXChannel, Rabu (12/3/2025).
2. Dari Sisi Operasional
Sedangkan dari sisi operasional, Meidy mengatakan kebijakan pemerintah soal penggunaan B40 juga akan menambah beban para pelaku usaha. Sebab bahan bakar baru itu tentu punya harga yang berbeda dengan menggunakan B30 sebelumnya.
Setidaknya ada 6 komoditas yang akan mengalami penyesuaian tarif royalti, yaitu batu bara, perak, timah, tembaga, emas, dan nikel.
3, Usuan Revisi Tarif
Adapun usulan revisi tarif untuk royalti nikel sendiri, bijih nikel naik dari sebelumnya single tarif bijih nikel 10 menjadi tarif progresif mulai 14-19 menyesuaikan harga mineral acuan.
Nikel matte naik dari single tarif 2 menjadi tarif progresif mulai 4,5 - 6,5 menyesuaikan harga acuan mineral. Sementara untuk windfall profit yang sebelumnya tambah 1, dihapuskan. Ferronikel naik dari sebelumnya single tarif 2 menjadi tarif progresif mulai 5 - 7 menyesuaikan harga mineral acuan.
Sedangkan nikel pig iron naik dari single tarif 5 menjadi tarif progresif mulai 5 - 7 menyesuaikan harga mineral acuan.
Meidy menilai, saat ini harga komoditas khususnya nikel di pasar global juga belum mengalami kenaikan, bahkan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2024. Hal ini yang menurutnya belum mampu untuk mengakomodir kenaikan beban usaha imbas kebijakan baru pemerintah di tahun 2025.
"Kalau harga memang dari tahun kemarin sampai tahun ini belum ada peningkatan yang cukup berarti, tentu kita harus berpikir bahwa ujungnya kita cari cuan atau margin untuk pengusaha dan negara," kata Meidy.
"Kita masih terus berusaha memberikan masukan yang komprehensif kepada pemerintah, mengenai kenaikan royalti, apakah berdampak pada pelaku usaha tambang," pungkasnya