5 Fakta Korupsi Pertamina Patra Niaga

5 Fakta Korupsi Pertamina Patra Niaga

Ekonomi | okezone | Jum'at, 28 Februari 2025 - 23:02
share

JAKARTA - Kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha PT Pertamina (Persero) memasuki babak baru. Di mana kerugian kasus korupsi kelola minyak mentah dan produk kilang ini diperkirakan lebih dari Rp193,7 triliun yang disebutkan sebelumnya.

Sebab, kerugian Rp193,7 triliun itu ternyata hanya terjadi satu tahun yakni pada 2023. Sedangkan waktu terjadinya perkara pada 2018 hingga 2023.

Berikut fakta kasus Korupsi Pejabat Tinggi Pertamina yang dirangkum Okezone, Sabtu (1/3/2025)

1.. Masih Lakukan Perhitungan untuk Kerugian Negara

Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyebutkan, masih melakukan penghitungan secara menyeluruh soal kerugian negara atas kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, subholding, dan KKKS tahun 2018-2023.

"Soal kerugian. Nah, di beberapa media kita sampaikan bahwa yang dihitung sementara, kemarin yang sudah disampaikan di rilis, itu Rp193,7 triliun. Itu tahun 2023.  Makanya kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih," ujarnya pada wartawan.

Jika dihitung, jumlah dari Rp193,7 triliun dikalikan lima memperoleh hasil Rp968,5 triliun atau mendekati Rp1.000 triliun. Jumlah kerugian negara ini tentu berjumlah sangat fantastis.

Menurutnya, pihaknya bakal bekerjasama dengan ahli untuk menghitung kerugian yang timbul akibat dugaan kasus korupsi tersebut. Terlebih, terdapat sejumlah komponen yang harus diperhitungkan berkaitan kasus itu.

"Ini perkiraan antara penyidik dengan ahli sementara, Rp193,7 triliun itu ada beberapa komponen. Kemarin sudah disampaikan kan, setidaknya ada lima komponen itu," tuturnya.

2. Kompensasi hingga Subsidi

Komponen tersebut, kata dia, mulai dari kompensasi hingga subsidi, lalu apakah komponen tersebut berlangsung di semua tahun atau tahun tertentu saja selama kurun waktu 2018-2023.

Hal itu dilakukan agar tak terjadi salah tafsir, khususnya di kalangan masyarakat.

 

"Soal menghitung kerugian itu nanti kalau bisa di-trace di 2018-2023, ini kan baru kompensasi 2023, aturan kompensasinya nanti mau kita cek. Ada gak di 2018, 2019, kalau gak ada berarti kan di 2018 bukan kerugian dong, karena gak ada," jelasnya.

"Sama dengan subsidi. Apakah setiap tahun subsidinya ada, apakah besarannya sama, karena itu sangat tergantung dengan besaran atau nilai impor yang dilakukan terhadap minyak itu. Jadi pembebanan kompensasi dan subsidi itu sangat tergantung dengan impor itu," kata Harli.

3. Rincian Kerugian Negara di Kasus tata Kelola Minyak Mentah

- Kerugian ekspor minyak mentah dalam Negeri sekitar Rp35 triliun

- Kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun

- Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun

- Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun

- Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun

4. Awal Mula Penyidikan Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina

Kapuskenkum Kejagung Harli Siregar membeberkan, awal mula dilakukannya penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, subholding, dan KKKS tahun 2018-2023.

"Kita kan selalu melakukan pengamatan, penggambaran, bahkan surveillance ya terhadap isu-isu yang ada di masyarakat. Termasuk kenaikan-kenaikan harga BBM, sama seperti kasus-kasus lain. Nah, itu dikaji tuh," ujarnya.

Menurutnya, awal mula kasus itu diselidiki dan disidik berdasarkan peristiwa yang terjadi di masyarakat, khususnya berkaitan BBM. Mulai dari kenaikan harga BBM hingga kualitas BBM yang tak bagus, semua informasi itu dikumpulkan dan dilakukan pengkajian.

"Nah, lalu dihubungkan dengan katakan misalnya soal yang itu tadi, yang informasi terkait soal di masyarakat ada, apa namanya itu, Kualitas jelek, misalnya. Nah, itu kita kumpulin. Nah, kenapa sih? Kenapa harus jelek? Dimana ini? Nah, itu yang kita trace," tuturnya.

Informasi tentang peristiwa yang terjadi di masyarakat, kata dia, berasal dari berbagai sumber, termasuk dari media hingga laporan. Pasca dilakukan telaah, analisis, hingga pengkajian, dimulailah penyelidikan saat dipastikan kebenarannya.

"Nah, kalau wilayah-wilayah kan kita kan bisa dari berbagai sumber. Ada dari media, ada dari laporan, apa namanya, dari di daerah. Kan tadi pertanyaannya kan awal, nah awalnya itu kita masuknya dari situ, lalu dibuat telaahannya, kemudian dilakukan penyelidikan. Nah, misalnya penyelidikannya ini kan di sebelum Oktober 2024. Iya dong," jelasnya.

 

"Tapi peristiwa-peristiwa jelek ini kan sudah terjadi waktu Covid juga. Jadi informasi itu ya dikumpulin. Misalnya ada informasi, eh importasi minyak itu nggak benar. Nggak benarnya itu seperti apa? Apakah ada kaitannya dengan peristiwa yang ada di masyarakat yang dulu itu? Kayak itu. Itu lah fungsi APH. Ada yang mentah, ada yang setengah matang, ada yang matang," beber Harli lagi.

Dia mengungkap, informasi tentang isu BBM dengan kualitas jelek hingga ada permainan soal impor minyak dimaksud juga telah ada sejak masa pandemi Covid-19 lalu. Semua informasi itu pun diperkuat dengan argumentasi hingga akhirnya Kejagung masuk dalam penyelidikan kasus tersebut.


"Informasinya itu yang diolah. Ya pastilah ada informasi yang misalnya itu ada permainan tuh di soal import minyak mentah misalnya. Lalu setelah dikaji, oh iya ya, kenapa dulu ada informasi soal kualitas jelek? Apakah ada kaitannya, misalnya terjadi 2019 waktu Covid," paparnya.


"Nah, sementara penyelidikannya kan sudah di 2024. Tapi peristiwa-peristiwa itu dijadikan merangkai, menguatkan argumentasi kita untuk masuk," kata Harli.

5. Total 9 Tersangka dalam Kasus Korupsi Pertamina 

Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK), dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne (EC) menjadi dia tersangka baru pada kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero).

Total, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sebanyak sembilan tersangka dengan perannya masing-masing pada kasus tersebut.

"Sampai dengan saat ini pasca dilakukan penahanan kepada 7 tersangka telah dilakukan pemeriksaan saksi terhadap dua orang Maya Kusmaya, direktur pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra," Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar kepada wartawan, Rabu (26/2/2025).

"Kedua, dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka Edward Corner, selaku Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga," sambungnya.

Berdasarkan pemeriksaan, Abdul Qohar menjelaskan bahwa kedua orang itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama tersangka lain. Sehingga, statusnya pun diubah dari saksi menjadi tersangka, dan dilakukan pemeriksaan kembali.

"Kemudian 2 tersangka tersebut setelah dilakukan pemeriksaan secara marathon mulai jam 3 sampai saat ini, penyidik menemukan bukti yang cukup bahwa kedua tersangka melakukan tindak pidana bersama sama dengan 7 tersangka yang kemarin telah kami sampaikan di hadapan teman teman jurnalis," katanya.

Sementara, tujuh tersangka lainnya adalah Riva Siahaan (RS), selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin, selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi (YF), selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.



Lalu, Agus Purwono (AP), selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International; Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim; Gading Ramadhan Joedo (GRJ), selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

Akibat tindak pidana rasuah ini, negara mengalami kerugian hingga Rp193,7 triliun. Dengan rincian, kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.

Selain itu kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

Topik Menarik