Mengenal Imam Al Ghazali, Ulama Ahli Fikih hingga Filsafat Panutan Umat Dunia
IMAM Al Ghazali memiliki nama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi\'i. Ia adalah seorang ahli fikih, filsafat, tasawuf, dan ilmu kalam muslim Persia yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad pertengahan.
Al Ghazali berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Dia lahir pada tahun 450 Hijriah di Thus, Persia. Saat itu Dinasti Saljuq dipimpin Tughril Bek yang menganut hukum Hanafiyah sehingga menganggap Syafiiyah dan Asyariyah sebagai lawan.
Tughril bahkan beberapa kali melakukan persekusi dan memerintahkan untuk mengutuk Asyariyah (juga Imamiyah) dari atas mimbar. Saat Al Ghazali berusia lima tahun, Tughril Bek meninggal dunia.
Meninggalnya Tughril Bek dan naiknya Alp Arslan menyebabkan digantinya Wazir Al Kunduri dengan Nizham Al Mulk. Di saat bersamaan, persekusi terhadap sarjana Asyariyah dinyatakan berakhir.
Lebih jauh, Nizham al-Mulk menganggap paham kalam Asyariyah dan fikih Syafiiyah sangat tepat dalam usahanya membendung propaganda Fatimiyyah di Mesir.
Integrasi Teknologi, Langkah PGN Wujudkan Keandalan Infrastruktur dan Transformasi Ekonomi Hijau
Guna memperkuat basis Sunni sebagai antisipasi terhadap penyebaran paham Syiah Bathiniyah, Nizam al Mulk membangun sekolah-sekolah ideologis dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah.
Pada tahun 461H, Al Ghazali masuk Madrasah Nizhamiyah di Nishapur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini. Bersama Al Juwaini, Al Ghazali banyak belajar tentang hukum, teologi, dan filsafat.
Saat usianya menginjak 23 tahun, di bawah bimbingan Al Juwaini, Al Ghazali menulis buku pertamanya dalam bidang usul fikih dengan judul Al-Mankhul min Ta\'liqat al-Ushul. Lima tahun setelah buku ini terbit, sang guru mengembuskan napas terakhir.
"Karya pertama Al Ghazali bukan tasawuf, tapi bidang teori hukum Islam. Ini ditulis saat dirinya menjadi mahasiswa Al Juwaini," ungkap Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Muhamad Rofiq Muzakkir dalam kajian tentang Al Ghazali yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat dan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu 3 Agustus 2022.
Berkat reputasi ilmiahnya yang begitu hebat serta penguasaannya di dalam ilmu-ilmu Islam, pada tahun 478H Al Ghazali menemui Wazir Nizam Al Mulk pertama kali di Isfahan. Pertemuan keduanya merupakan simbol interdepensi antara ulama dan umara yang membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Kedekatan Al Ghazali dengan penguasa ini membuat dirinya direkrut untuk menduduki jabatan-jabatan intelektual yang strategis. Pada tahun 484H, Al Ghazali ditunjuk sebagai profesor Universitas Nizhamiyah di Baghdad.
Saat berusia 38 tahun, Al Ghazali menulis kitab fenomenal: Tahafut al Falasifah, kitab kontroversial yang menguliti pemikiran para filsuf terutama Al Farabi dan Ibnu Sina.
Di tahun yang sama, ia mulai merasakan keresahan spiritual yang begitu mendalam hingga dirinya jatuh sakit tidak bisa berbicara. Al Ghazali kemudian memutuskan meninggalkan seluruh jabatan terpandangnya di Baghdad, lalu mengembara ke Damaskus.
Di sela-sela pengembaraan selama dua tahun itu, Al Ghazali sempat melakukan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan melakukan ibadah haji.
"Baru empat tahun jadi profesor, Al Ghazali merasa hidupnya banyak berorientasi pada kekuasaan, akhirnya dia izin ke Khalifah untuk menunaikan ibadah haji, tapi kenyataannya dia ke Damaskus dulu, kemudian ke Yerussalem, ziarah ke makam Ibrahim, baru setelah itu ke Mekkah dan kembali ke Damaskus," terang Ustadz Rofiq, dikutip dari Muhammadiyah.or.id .
Pada tahun 490H, Al Ghazali kembali ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Selama enam bulan mengajar, ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Thus dan membuka semacam halakah bagi kaum sufi (ribat).
Hidup dalam kecenderungan sufisme, Al Ghazali mencurahkan seluruh waktunya untuk melakukan ibadah dan zikir, sambil terus berusaha mengobati keresahan batinnya yang mencengkam.
Ketika Fakhr Al Mulk memintanya kembali memimpin Madrasah Nizhamiyah pada tahun 499H, timbul kesadaran baru bahwa ia harus keluar dari \'uzlah (pangasingan diri).
Tugas di Nizhamiyah Nishapur ini tidak lama diembannya. Hanya setahun mengajar. Pada tahun 500H, Al Ghazali pamit dari kota itu untuk kembali membimbing para murid di halakah yang didirikannya.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang mursyid, Al Ghazali menulis kitab Al Munqidz min al Dhalal. Lima tahun setelah kitab itu beredar, Al Ghazali wafat di usia 55 tahun.
"Buku Al Munqidz min al Dhalal yang mau kita kaji ini ditulis Al Ghazali saat usianya 50 tahun. Al Ghazali kemudian wafat pada tahun 505H saat usianya 55 tahun," tukas alumni Arizona State University ini.
Wallahu a\'lam bisshawab .