Banyak Aparat Salah Gunakan Senpi, Legislator DPR Dorong Reformasi Penegakan Hukum

Banyak Aparat Salah Gunakan Senpi, Legislator DPR Dorong Reformasi Penegakan Hukum

Berita Utama | depok.inews.id | Rabu, 18 Desember 2024 - 18:20
share

JAKARTA, iNews Depok.id - Anggota Komisi III DPR RI Martin Tumbelaka menyoroti banyaknya kasus penggunaan senjata api (senpi) yang dilakukan anggota kepolisian kepada warga. Ia menilai ada banyak kejadian yang membuktikan polisi menggunakan kewenangannya untuk ‘membunuh’ dengan dalih penegakan hukum.

"Kami meminta untuk mengevaluasi agar penggunaan senpi tidak disalahgunakan. Karena sudah banyak kejadian anggota Polri menggunakan pistol seenaknya," kata Martin, Rabu (18/12/2024).

Hal yang sama juga disampaikan Martin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR bersama Kapolda Kalteng Irjen Pol Djoko Poerwanto terkait kasus pembunuhan yang dilakukan seorang oknum polisi Polda Kalteng kepada warga dengan senpi.

Dalam kasus tindak pidana pencurian dan kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten Katingan itu, pelaku diberikan sanksi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Martin pun mengapresiasi langkah Polda Kalteng.

“Untuk Pak Kapolda Kalimantan Tengah tentu kami berterima kasih karena sudah memproses anggotanya yang sudah melakukan pelanggaran dan sudah dihukum,” tuturnya.

“Saya melihat di sini ada satu masalah, dari hasil pelakunya itu terindikasi ternyata menggunakan psikotropika yaitu sabu-sabu,” imbuhnya.

Martin pun menyatakan hal ini menjadi perhatian Komisi III DPR dan meminta jajaran Polri untuk melakukan pengawasan ketat dan pengecekan berkala kepada anggotanya.

“Karena ini satu yang dituangkan dalam asta citanya Pak Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas narkoba. Jadi kami mendorong ini untuk pengecekan yang rutin untuk anggota kepolisian, baik dari Mabes Polri, Polda sampai ke bawah yaitu polsek,” ungkapnya.

 

Martin lalu menyoroti bagaimana kasus penggunaan senpi kembali terjadi di lingkungan Polri. Beberapa waktu lalu, Komisi III DPR juga memanggil jajaran Polres Semarang dan Polda Jawa Tengah dalam kasus penembakan yang dilakukan oleh Aipda Robig terhadap Gamma Rizkynata Oktafandy (GRO), seorang pelajar SMKN 4 Semarang.

Kasus tersebut bahkan diwarnai oleh manipulasi sebab awalnya pelaku disebut menembak korban karena melakukan tawuran. Padahal saat kejadian tak ada peristiwa tawuran, dan belakangan diketahui pelaku menembak korban karena motornya terserempet.

“Ini kejadian juga menggunakan pistol sehingga menyebabkan kematian. Tentu kami mendorong pihak kepolisian supaya langkah-langkah pengawasan anggotanya lebih efektif dan maksimal,” ujar Martin.

Banyaknya kasus penembakan yang dilakukan anggota kepolisian telah menimbulkan keresahan di publik. Bahkan beberapa kalangan meminta DPR menggunakan hak angketnya untuk menyelesaikan kasus-kasus penyalahgunaan senpi di lingkungan aparat.

Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 45 pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat negara dalam periode Desember 2023-November 2024. Sebanyak 34 kali dilakukan oleh polisi dan 11 dilakukan oleh TNI.

KontraS juga mengungkap ada 47 orang tewas akibat perilaku aparat pada periode yang sama di mana 29 korban disebabkan senjata api, dan 18 korban akibat penyiksaan. Martin menyesalkan tindakan-tindakan ini.

"Mirisnya, lebih dari 30 kasus terjadi hanya dalam kurang lebih satu tahun. Seharusnya polisi itu mengayomi dan melindungi, bukan membunuh," tegasnya.

 

Kasus-kasus seperti yang dilaporkan KontraS dinilai sebagai bentuk tindakan extra judicial killing yang merupakan pembunuhan di luar hukum atau putusan pengadilan, dan dilakukan oleh aparat negara. 

Extra judicial killing itu bisa dilakukan dalam bentuk penembakan jarak jauh, penembakan jarak dekat, misil, yang dengan sengaja, terencana, dan terstruktur oleh negara atau perantara mereka yang bertindak di bawah kekuasaannya sebagai penyelenggara negara.

Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, extra judicial killing merupakan pelanggaran HAM berat sama seperti penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.

Tindakan ini juga dilarang keras oleh ketentuan HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional karena merampas hak hidup-yang menjadi hak asasi paling utama manusia. Larangan pun dimuat dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi atau disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005.

"Kami mendorong adanya reformasi penegakan hukum bagi aparat yang melakukan penyalahgunaan wewenang penggunaan senpi. Harus ada perbaikan karena nyawa warga negara yang jadi korban,” tukas Martin.

Lebih lanjut, Martin juga meminta penegakan hukum di kepolisian atas pelanggaran hukum atau kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang anggota Polri diproses dengan tegas tanpa menunggu viral.

"Sorotan publik dalam hal ini harus menjadi momentum untuk mendorong perbaikan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum di kepolisian, serta meningkatkan integritas dan profesionalisme aparat," pesannya. 

Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat angka yang lebih tinggi terkait tindakan extra judicial killing. Menurut data YLBHI, ada 281 kasus dengan jumlah korban jiwa mencapai 305 orang selama 2018-2020 akibat penggunaan senjata api aparat.

 

YLBHI juga menyebut lebih dari 80 persen kasus extra judicial killing hilang begitu saja. Hanya sekitar 25 kasus yang masuk ke pengadilan, itu pun karena tekanan publik. Martin mengatakan seharusnya tindakan tersebut tidak menimpa warga negara, termasuk pelaku kriminal sekalipun. 

“Karena Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki sistem peradilan untuk setiap tindakan kejahatan,” sebutnya.

Martin mengatakan, Polisi memang memiliki wewenang khusus saat menghadapi keadaan darurat yang membahayakan hak hidup dirinya atau masyarakat luas. Wewenang ini diatur dalam sejumlah beleid seperti Peraturan Kapolri (Perkapolri) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, hingga Prosedur Tetap (Protap) Kepala Polri 1/X/2010.

“Meskipun polisi memiliki hak untuk pengunaan senjata, namun ada aturan kapan senjata tersebut digunakan. Tidak asal tembak karena wewenang yang dimaksud juga jelas dalam aturan bahwa tindakan penembakan merupakan tindakan tegas dan terukur,” papar Martin.

Martin juga mengingatkan bahwa penggunaan senjata api oleh kepolisian adalah upaya terakhir ketika ancaman tidak mereda di mana hal ini pun dilakukan setelah serangkaian upaya hukum dilakukan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia, seperti gas air mata atau semprotan cabai, gagal mengamankan situasi.

“Dan yang harus digarisbawahi bahwa penggunaan senjata api sifatnya hanya untuk melumpuhkan, bukan berujung pada penghilangan nyawa,” ucap anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan penegakan hukum tersebut.

 

Meski begitu, banyak peristiwa penyalahgunaan senpi oleh oknum aparat dilakukan secara serampangan. Artinya tidak secara terukur dan menyalahi prosedur yang sudah ditentukan. 

Misalnya seperti yang terjadi di Kecamatan Marga Sekampung, Kabupaten Lampung Timur pada Maret 2024. Seorang warga bernama Romadon ditembak anggota Subdit Ill Jatanras Polda Lampung di bagian perut hingga peluru tembus ke pinggul karena dituduh sebagai komplotan pencuri sepeda motor (curanmor).

Romadon ditembak di dalam rumahnya sendiri dengan disaksikan langsung oleh orangtua, istri, dan anaknya. Padahal saat itu Romadon tidak melakukan perlawanan. Usai ditembak, Romadon dibawa oleh polisi hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia.

Ada juga kejadian penembakan seorang yang diduga pencuri motor hingga tewas oleh Anggota Satreskrim Polres Metro Tangerang. Belum lagi berbagai kasus yang tidak terekspos publik.

"Tidak boleh ada satu pun warga negara, termasuk pelaku kriminal mendapat tindakan extra judicial killing seperti itu. Kalau demikian, apa gunanya kehadiran lembaga kejaksaan dan pengadilan?" tutup Martin.

Topik Menarik