Kasus Mafia Tanah Modus Penipuan Jual Beli di Bedono Demak, Diduga Korban Lebih Satu Orang

Kasus Mafia Tanah Modus Penipuan Jual Beli di Bedono Demak, Diduga Korban Lebih Satu Orang

Berita Utama | semarang.inews.id | Minggu, 13 Oktober 2024 - 06:50
share

SEMARANG, iNewsSemarang.id – Kasus mafia tanah dengan modus penipuan jual beli di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, terus bergulir.

Kabar terbaru, korban kasus mafia yang melibatkan mantan kepala desa (Kades) Bedono ini, diduga lebih dari satu orang.

Diketahui, Polrestabes Semarang telah mengamankan dua orang, yakni mantan Kades Bedono, Agus Salim dan seorang wanita warga Genuk, Semarang, Tiyari.

Kedua tersangka diamankan polisi atas laporan korban Bernama Yuliati, warga Gebangsari, Kecamatan Genuk, Kota Semarang yang mengaku mengalami kerugian hingga Rp 800 juta.

Kuasa hukum korban, M Ardana Inanda menyebut masih ada korban lain dalam kasus mafia tanah di Bedono ini selain kliennya. Sehingga pihaknya minta korban lain segera melapor.

“Saya harap jika ada korban lain, silakan segera datang dan kami siap kawal sampai tuntas. Untuk sementara kita telah melaporkan dan kedua tersangka sudah ditindaklanjuti sudah dilimpahkan ke Kejaksaan,” katanya saat ditemui awak media di Semarang, Sabtu (12/10).

 

Dia menjelaskan bahwa kronologi kasus mafia tanah ini berawal pada tahun 2019, korban ditawari oleh tersangka Tiyari sebuah tambak seluas 1 hektar lebih dan dijanjikan bahwa tanah tersebut akan terkena proyek startegis nasional (PSN).

“Saat itu saudari Tiyari dan Agus Salim menawarkan tanah seharga Rp 800 juta dan akan terkena PSN. Dari proyek tersebut, korban dijanjikan mendapatkan keuntungan tiga kali lipat,” ungkapnya.

Karena tertarik dengan keuntungan itu, lanjutnya, korban membeli tanah tersebut dengan kelengkapan surat letter C dari pihak desa. “Setelah kami cari lebih jauh, ternyata tanah tersebut sudah punya sertifikat hak milik oleh orang lain,” ujarnya.

Dia menduga masih ada pelaku lain, seperti perangkat desa, yang bekerja sama dalam menerbitkan letter C itu. “Saya rasa pastinya ada keterlibatan perangkat desa lainnya,” ujarnya.

Ardana mengutarakan bahwa korban memang sempat diajak untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan. Namun, sejak tahun 2019, kedua tersangka tidak ada etika baik untuk menyelesaikannya.


 

Topik Menarik