Politik Kedekatan Dedi Mulyadi
Oleh : Saep Lukman
Pendahuluan
Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2024 tinggal menghitung hari dan harapan masyarakat semakin besar. Di tengah suasana perhelatan demokrasi serentak ini, masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang tidak hanya piawai dalam urusan administratif, tetapi juga memahami dan mencintai kebudayaan lokal.
Harapan ini muncul karena Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, memiliki kompleksitas sosial dan budaya yang menuntut perhatian khusus. Tantangannya adalah menjaga identitas budaya tetap hidup di tengah gelombang modernisasi.
Pada titik ini, pasangan Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan dianggap relevan menawarkan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya, yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Barat.
Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai hasil riset sejumlah lembaga survei terkemuka belakangan ini seperti Litbang Kompas yang menempatkan pasangan ini jauh lebih unggul dari kandidat lain.
Menurut Journal of Asian and African Studies, pemimpin daerah di wilayah padat penduduk seperti Jawa Barat membutuhkan “capacity for cross-cultural engagement” atau kemampuan berinteraksi lintas budaya (Stevens, 2019).
Dedi Mulyadi menunjukkan kapasitas ini dalam pendekatannya yang akrab dan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Sunda, serta kepeduliannya terhadap warisan lokal. Hal ini ia lakukan tidak mendadak tapi terbangun sejak lama sejak ia menjadi bupati Purwakarta dan Anggota DPR RI.
Bahkan mungkin bisa jadi sebelum itu. Sehingga menempatkannya sebagai sosok ‘nyunda’ yang unik dengan segala ciri kekhasannya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat tampil di publik dan media sosial.
Merawat Tradisi, Menjaga Identitas
Dedi Mulyadi adalah sosok yang lekat dengan tradisi Sunda. Bukan hanya memahami, ia juga terlibat langsung dalam menjaga dan mengembangkan nilai-nilai budaya Sunda dalam kehidupannya. Sebab itu banyak orang yang melihat Dedi dari sisi yang berbeda dan kontroversial tapi tetap disukai.
Dalam bukunya Local Politics in Indonesia, Edward Aspinall (2018) menyebutkan bahwa “politics of proximity” atau politik kedekatan adalah kunci keberhasilan pemimpin di Indonesia, terutama di wilayah dengan ikatan adat dan budaya yang kuat seperti Jawa Barat.
Kedekatan Dedi dengan budaya Sunda menjadikan pendekatan ini alami baginya. Dia mampu menyelami kebutuhan masyarakat karena dia bukan sekadar berbicara tentang budaya, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya.
Lokatmala Foundation, sebuah yayasan kebudayaan di Cianjur, turut menjadi bagian penting dalam mendukung Dedi di level tertentu karena upaya mereka selama ini dalam menjaga tradisi Sunda berkelindan dengan semangat Dedi Mulyadi dalam memajukan seni budaya dan kebijaksanaan Sunda.
Yayasan ini didirikan pada 2018 dan diantara kegiatannya aktif melestarikan budaya Cianjur melalui tiga pilar budaya: Ngaos (pembelajaran agama), Mamaos (seni musik tradisional Sunda), dan Maenpo (seni bela diri Sunda). Yayasan ini mendukung penuh pasangan Dedi-Erwan karena meyakini bahwa mereka bisa memberikan komitmen nyata dalam pelestarian budaya.
Salah satu kontribusi penting Lokatmala Foundation bersama komunitas dan individu lainnya termasuk Pemkab Cianjur dan Pemprov Jabar adalah pelestarian seni Pakemplung dari Kecamatan Naringgul, sebuah seni tradisi syukuran atas panen padi yang kini hampir punah tergerus zaman.
Dr Hendriyana, seorang peneliti budaya dari Universitas Padjadjaran (Unpad), menilai bahwa “kesenian seperti Pakemplung membawa nilai spiritual dan ekologis yang tinggi bagi masyarakat Cianjur, menghubungkan mereka dengan alam dan siklus kehidupan” (Hendriyana, 2021).
Keberhasilan Lokatmala Foundation dalam menghidupkan kembali seni Pakemplung adalah contoh nyata bahwa tradisi bukan sekadar warisan, tetapi sebuah akar yang menumbuhkan kebersamaan di tengah masyarakat.
Lokatmala Foundation juga berperan dalam revitalisasi Kampung Adat Miduana di Desa Balegede, Kecamatan Naringgul, yang menjaga kearifan lokal dan mendukung masyarakat adat untuk tetap hidup dengan identitasnya di tengah perubahan zaman.
Sejalan dengan kajian dalam Journal of Cultural Heritage Management, revitalisasi kampung adat dapat berfungsi sebagai “cultural buffer” atau penyangga budaya, melindungi komunitas lokal dari pengaruh homogenisasi budaya global (Lee & Youn, 2020).
Yandi-Ros Disambut Hangat di Puncak Lambitu, Warga Minta Perhatikan Jalan dan Sektor Pertanian
Tentu saja Dedi sangat mendukung upaya seperti ini karena memperlihatkan wujud komitmennya dalam memelihara identitas budaya lokal sebagai kekuatan di tengah modernisasi.
Merangkul Masyarakat melalui Budaya
Jawa Barat adalah provinsi dengan keberagaman yang sangat kaya, mulai dari petani di desa hingga kaum profesional di kota. Untuk menjangkau semua lapisan masyarakat, Dedi Mulyadi nampak menerapkan pendekatan kampanye yang berbasis komunitas ini.
Sebab dia meyakini seperti keberpihakannya selama ini kepada berbagai komunitas termasuk komunitas minoritas dan termarjinalkan sudah melampaui jalan hidupnya.
Asian Survey (2021) menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas efektif menjangkau berbagai segmen masyarakat di Asia Tenggara, karena mampu menyentuh isu-isu lokal dan membangun hubungan yang lebih personal dengan pemilih. Dedi memahami bahwa masyarakat tidak hanya ingin didengar, tetapi juga dilibatkan.
Melalui kegiatan budaya, Dedi Mulyadi menjadikan budaya sebagai medium komunikasi. Contohnya adalah keterlibatan para pendukung Dedi Mulyadi di Cianjur dalam mendukung pementasan “Dari Pancaniti ke Ceurik Oma,” sebuah pertunjukan dari Lokatmala Foundation yang memperkenalkan kembali Ngaos, Mamaos, dan Maenpo kepada publik dengan cara yang berbeda dan visioner.
Pendekatan serupa pernah dilakukan para relawan Presiden Joko Widodo, yang efektif dalam membangun militansi, kepercayaan dan hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat.
Bahkan dalam setiap kegiatan budaya, di berbagai tempat Dedi kerap hadir bukan sebagai sosok pemimpin yang jauh, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang ingin melestarikan budaya bersama-sama.
Peluang Kemenangan
Kedekatan Dedi Mulyadi dengan budaya lokal memberikan keunggulan yang unik dalam Pilgub Jabar, terutama di mata generasi muda yang mulai menyadari pentingnya identitas lokal. Menurut Indonesia Millennial Report (2022), generasi muda di Indonesia cenderung menghargai pemimpin yang otentik dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang budaya lokal.
Pada bagian ini Dedi dianggap berbagai kalangan termasuk para politisi dan komunitas budaya Sunda telah berhasil memperkenalkan seni-seni tradisional ke berbagai acara budaya yang lebih terhormat. Hal ini mencerminkan keseriusannya dalam menjaga budaya lokal tetap relevan.
Pendekatan ini diperkuat oleh hasil Global Attitudes Survey dari Pew Research Center yang menunjukkan bahwa masyarakat Asia menghargai pemimpin yang mempertahankan budaya di tengah kemajuan ekonomi (Pew Research Center, 2020).
Dukungan terhadap tiga pilar budaya Cianjur memberikan nilai tambah bagi Dedi untuk meraih simpati dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang merasa budaya Sunda perlu dipertahankan di tengah derasnya arus budaya asing.
Namun, melestarikan budaya bukanlah tugas yang mudah. Salah satu tantangan utama yang dihadapi Dedi Mulyadi adalah keterbatasan anggaran dan dukungan dari pemerintah.
Journal of Public Administration (2019) mencatat bahwa proyek pelestarian budaya sering kali menghadapi kendala pendanaan dan minimnya perhatian dari pemerintah daerah. Dalam hal ini, Dedi perlu memastikan kesinambungan program-program pelestarian budaya agar bisa berkelanjutan.
Di sisi lain, tantangan dari globalisasi juga membawa perubahan nilai di kalangan generasi muda yang semakin terpapar oleh budaya asing. Dalam The Globalization Paradox, Dani Rodrik (2017) menjelaskan bahwa modernisasi kerap kali mengikis budaya lokal, terutama ketika masyarakat muda lebih tertarik pada budaya populer dari luar negeri.
Dedi dan Lokatmala Foundation perlu bekerja keras agar Ngaos, Mamaos, dan Maenpo tetap menjadi bagian dari identitas generasi muda tidak saja di Cianjur tapi juga di Jawa Barat.
Penutup
Terakhir jika Dedi Mulyadi berhasil memenangkan Pilgub Jabar, kemenangan ini tidak hanya akan menjadi keberhasilan politik, tetapi juga simbol komitmen terhadap pelestarian budaya Sunda. Dedi telah menunjukkan bahwa modernisasi dan tradisi dapat berjalan beriringan.
Keberhasilan Lokatmala Foundation dalam memperkenalkan budaya lokal ke kancah yang lebih luas membuktikan bahwa warisan budaya bukanlah hal yang statis, melainkan kekuatan yang menghidupkan kebersamaan. Sehingga suatu saat ketika Dedi Mulyadi berhasil memimpin maka jalan pemajuan kebudayaan di Jawa Barat akan semakin terang.
Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures menyebut budaya sebagai “a way of understanding and organizing our social life,” atau cara kita memahami dan mengorganisir kehidupan sosial kita (Geertz, 1973).
Dedi Mulyadi yang mendapat dukungan berbagai komunitas arus bawah seperti dari Lokatmala Foundation di Cianjur, misalnya, dipastikan memiliki kesempatan lebih besar untuk membawa Jawa Barat ke arah masa depan yang berkelanjutan, dimana kemajuan ekonomi sejatinya tidak perlu mengorbankan budaya lokal, tetapi justru memperkuatnya.*
Penulis: Saep Lukman
Ketua Biro Media dan Penggalangan Opini DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat, Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia, Lokatmala Foundation.