Kasus Vicente Hoarnai, Ujian Penegakan Hukum di Pilkada Belu 2024
Belu, iNewsAlor.id — Proses penyidikan terkait dugaan ketidakjujuran Vicente Hoarnai Gonsalves, calon Wakil Bupati Belu dari pasangan "Paket Sahabat" dengan Wili Lay, terus berlanjut di Polres Belu. Dugaan ini muncul atas laporan tim kuasa hukum "Paket Sehati", yang diwakili oleh Jeremias L. M. Haekase.
Jeremias kepada Media, Kamis ,(26/12/ 2024), menyebut laporan awal disampaikan ke Bawaslu pada 6 Desember 2024, sehari setelah penetapan hasil Pilkada Belu. Setelah dianalisis oleh Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), ditemukan indikasi kuat adanya tindak pidana berupa pemberian keterangan palsu oleh Vicente dalam dokumen pencalonannya.
“Kasus ini sudah memasuki tahap penyelidikan resmi sejak 15 Desember 2024. Sesuai aturan, berkas perkara harus diselesaikan dalam waktu 14 hari kerja sebelum dilimpahkan ke kejaksaan. Namun hingga 26 Desember, penyidikan belum rampung,” ujar Jeremias.
Ia menjelaskan bahwa kendala utama adalah keterlambatan saksi dalam memenuhi panggilan penyidik. “Beberapa saksi dijadwalkan memberikan keterangan pada 27 Desember. Kami berharap proses ini segera tuntas dengan profesionalisme dan transparansi,” tambahnya.
Jeremias juga menegaskan bahwa langkah hukum ini bukan untuk merugikan pihak lain, melainkan memastikan keadilan dan penegakan hukum.
Kuasa Hukum Paket Sehati Lapor ke MK
Selain melaporkan kasus ini ke Bawaslu, tim hukum "Paket Sehati" juga telah mengajukan permohonan pembatalan hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan itu ditujukan kepada Ketua MK di Jakarta dengan pokok permohonan pembatalan Keputusan KPU Kabupaten Belu Nomor 746 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tertanggal 5 Desember 2024.
Ahli Hukum: Diskualifikasi Konsekuensi
Ahli hukum pidana dari Universitas Widya Mandira Kupang, Mikael Feka, menjelaskan bahwa penyampaian data diri dalam Pilkada adalah tanggung jawab pribadi calon. Ketidakjujuran dalam penyampaian data dapat berujung pada diskualifikasi pasangan calon.
“Jika terbukti ada dokumen palsu atau data yang tidak benar, pasangan calon bisa didiskualifikasi. Ini sudah pernah terjadi di NTT, seperti kasus Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua tiga tahun lalu,” ungkap Mikael.
Ia menambahkan, Mahkamah Konstitusi kini tidak hanya fokus pada sengketa angka hasil Pilkada, tetapi juga bentuk pelanggaran hukum lainnya.
Tuntutan Keadilan
Jeremias berharap Polres Belu dapat segera menyelesaikan penyidikan dan melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. “Kami ingin memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Siapapun, termasuk saksi dan terlapor, wajib memenuhi panggilan penyidik,” tegasnya.
Demikian pula, Mikael Feka, yang menegaskan, kasus ini diharapkan sampai di persidangan, biarkan hakim yang memutuskan benar atau tidaknya dugaan pelanggaran administrasi.
Hingga berita ini diturunkan, berkas perkara masih dalam proses penyidikan, dengan pemeriksaan saksi dijadwalkan berlangsung dalam waktu dekat. Kasus ini akan menjadi ujian bagi penegakan hukum dalam Pilkada Belu 2024, Tutup Haekase.