7 Kerajaan di Indonesia yang Masih Eksis hingga Kini
JAKARTA, iNews.id - Kerajaan di Indonesia yang masih eksis hingga kini dapat dijumpai di beberapa wilayah. Sejak masa lampau, terdapat banyak kerajaan dengan beragam corak agama di nusantara, baik itu kerajaan Islam, Hindu, Buddha, maupun Kristen.
Setiap kerajaan tersebut memiliki kekuasaan di wilayah tertentu, bahkan ada yang daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah nusantara.
Banyak kerajaan yang mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh, tapi ada pula yang masih berdiri sampai sekarang. Kerajaan yang masih ada sampai saat ini tidak lagi memiliki kekuasaan karena berada di bawah Pemerintah Republik Indonesia. Berikut 7 kerajaan di Indonesia yang masih eksis hingga kini.
1. Kesultanan Deli
Saat ini Kesultanan Deli dipimpin oleh Sultan Mahmud Aria Lamantjiji Perkasa Alam Shah atau yang disebut juga dengan Tuanku Aji. Tuanku Aji menjadi Sultan Deli ke-14, yang dinobatkan sebagai raja saat berusia 8 tahun pada 2005.
Karena menjadi raja di usia belia, Tuanku Aji merupakan sultan Deli termuda dalam sejarah Kesultanan Deli. Ia naik takhta menggantikan ayahnya, Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam, yang meninggal pada tahun 2005 dalam kecelakaan pesawat. Pelantikan Tuanku Aji dilakukan di depan peti mati sang ayah di Balairung Istana Maimun.
Kesultanan Deli didirikan pada 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan. Kala itu, ia diutus ke wilayah Aru sebagai perwakilan Kerajaan Aceh. Empat raja di wilayah Batak Karo yang telah masuk Islam kemudian mengangkat Panglima Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli.
Sejak itulah Kesultanan Deli berdiri di Tanah Deli (kini merupakan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara) dengan raja pertamanya Tuanku Panglima Gocah Pahlawan. Setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Deli tidak lagi memiliki kekuatan politik.
2. Kesultanan Serdang
Kesultanan Serdang berdiri pada abad ke-18, sebagai pecahan dari Kesultanan Deli. Sultan pertama yang memerintah di Kesultanan Serdang adalah Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah Kejuruan Junjungan pada tahun 1728.
Berdasarkan peta sekarang, wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang berada di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Pada paruh kedua abad 19, kesultanan ini mengalami kemajuan secara bertahap, terutama setelah dibukanya perkebunan tembakau. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kesultanan Serdang adalah Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah.
Dia dinobatkan menjadi sultan saat usianya 15 tahun, menggantikan Sultan Basyaruddin yang mangkat pada 1879. Banyak kemajuan yang dirasakan masyarakat semasa kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, seperti di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan.
Dia juga merupakan sosok yang melawan cengkeraman kolonial Belanda. Sewaktu Indonesia merdeka, Sultan Sulaiman turut mengibarkan bendera merah putih usai mengetahui adanya Proklamasi 17 Agustus 1945 melalui gubernur Sumatera Timur.
Bahkan, Sultan Sulaiman kemudian menyatakan bahwa Kesultanan Serdang dan seluruh daerah taklukkannya mengakui dan bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Meski tidak memiliki kekuasaan dan pemerintahan, Kesultanan Serdang masih ada hingga kini dan dipimpin oleh Sultan Achmad Thala\'a Shariful Alam Shah yang memerintah sejak 2011.
3. Kesultanan Cirebon
Di Jawa Barat, berdiri kerajaan bercorak Islam pada abad 15 dan 16, yaitu Kesultanan Cirebon. Berada di pantai utara Jawa, Cirebon menjadi jembatan antara kebudayaan Sunda dan Jawa karena letaknya di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal ini turut mempengaruhi kebudayaan Cirebon, yang tidak didominasi baik oleh kebudayaan Sunda maupun Jawa.
Pendiri Kesultanan Cirebon adalah Pangeran Cakrabuana, yang mendapat sebutan Haji Abdullah Iman. Selain sebagai raja Cirebon pertama, ia juga aktif menyebarkan agama Islam.
Setelah Haji Abdullah Iman mangkat, keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah naik menjadi Sultan Cirebon pada 1479. Tokoh yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati ini merupakan pemimpin yang membawa Kesultanan Cirebon pada masa kejayaan.
Kesultanan Cirebon kemudian terbagi menjadi tiga, pada 1677, yang ditandai dengan keberadaan Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Saat ini, Pangeran Heru Rusyamsi Arianatereja atau Pangeran Kuda Putih merupakan Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon. Pengukuhannya sebagai sultan dilakukan pada 6 Februari 2022 di Kamukten Pangeran Arya Kamuning, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
4. Kesultanan Yogyakarta
Kesultanan Yogyakarta (atau Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat), bersama dengan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, merupakan pecahan dari Kesultanan Mataram Islam. Ini terjadi karena adanya campur tangan Belanda yang membagi dua Kesultanan Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 1755. Setelah itu, Pangeran Mangkubumi menjadi sultan di Kesultanan Yogyakarta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dia pun mendirikan keraton sebagai pusat pemerintahan.
Dalam perjalanannya, kesultanan ini menghadapi berbagai pengaruh, baik dari pemerintahan kolonial Belanda maupun Inggris. Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu memerintah Kesultanan Yogyakarta segera memberikan ucapan selamat kepada para proklamator.
Ini disusul dengan pernyataan dari Sultan, pada 5 September 1945, bahwa wilayah Kesultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia. Saat ini, Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono X yang bertakhta sejak 1989, sekaligus juga merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
5. Kasunanan Surakarta
Sejarah berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat tak terlepas dari konflik yang melanda Kesultanan Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Pakubuwono II, Raja Kesultanan Mataram ke-9, pusat pemerintahan dipindahkan dari Kartasura ke Desa Sala yang kemudian dikenal dengan nama Surakarta, pada 1744. Pembangunan istana menjadi penanda berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dengan Pakubuwono II sebagai penguasa pertama.
Selanjutnya, di masa Pakubuwono VI, terjadi perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro hingga pecah Perang Jawa pada 1825-1830. Karena mendukung Pangeran Diponegoro, Pakubuwono VI pun ditangkap Belanda.
Sewaktu Indonesia merdeka, Kasunanan Surakarta yang ketika itu dipimpin oleh Pakubuwono XII menyatakan wilayahnya bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Kini Kasunanan Surakarta masih meneruskan tradisi dengan dipimpin oleh Raden Mas Suryo Partono sebagai Pakubuwono XIII.
6. Kesultanan Ternate
Di bagian timur Indonesia, terdapat Kesultanan Ternate yang berdiri pada 1257 merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Maluku Utara, bersama dengan Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Empat kerajaan ini membentuk persekutuan Moloku Kie Raha, sebagai langkah untuk menyudahi perselisihan atau konflik yang terjadi berkepanjangan.
Dari waktu ke waktu, Kesultanan Ternate terus mendapatkan campur tangan dari bangsa lain yang menjajah, seperti Portugis dan Belanda. Hingga akhirnya, Kesultanan Ternate berada di bawah penguasaan Belanda, setelah Sultan Haji Muhammad Usman Syah dimakzulkan atas tuduhan pemberontakan pada 1915.
Kemudian, kesultanan ini menjadi bagian negara Republik Indonesia usai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meneruskan adat dan tradisi kesultanan, saat ini Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Hidayatullah Sjah yang merupakan Sultan Ternate ke-49.
7. Kesultanan Tidore
Kesultanan Tidore memiliki akar yang sama dengan Kesultanan Ternate. Raja pertamanya, Sahajati, merupakan saudara dari Raja Ternate pertama, Mashur Malamo. Kerajaan Tidore menjadi kerajaan bercorak Islam setelah pemimpinnya yang bernama Ciriliyati masuk Islam dan bergelar Sultan Jamaluddin. Ia memerintah pada 1495-1512 dan kemudian digantikan oleh Sultan Al Mansur.
Kesultanan Tidore mencapai masa kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin yang memerintah pada 1657-1689. Selanjutnya, pada awal abad ke-19, Sultan Nuku juga mampu membawa Kesultanan Tidore ke zaman keemasannya. Ia dapat pula menyatukan Tidore dengan Ternate untuk bersama-sama melawan Belanda.
Namun, konflik internal yang terjadi mengakibatkan Kesultanan Tidore berada di bawah penguasaan Belanda. Kesultanan Tidore kemudian menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia, seiring tercapainya kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saat ini, yang menjabat sebagai Sultan Tidore adalah Sultan Husain Alting Sjah.