Kekejaman Perang Jawa Menurut Perwira Belanda
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Semua peperangan memang tidak jauh dari kebengisan, kekejaman, kebiadaban, kebencian dan pikiran, serta perilaku negatif lainnya.
Bagi kita yang hidup di zaman abad sekarang tentu ketika mendengar perilaku ketidakberadaban itu menjadi terheran-heran dan mengutuknya, tetapi bagi pelaku saat itu dalam atmosfir perang, perilaku seperti itu merupakan sesuatu yang biasa dan lumrah dilakukan. Tetapi beberapa orang sudah mengaggapnya sebagai perbuatan yang terkutuk.
Kisah yang akan saya sampaikan ini tentang kekejaman Perang Jawa, diambil dari catatan seorang perwira yang berpangkat letnan kolonel kelahiran Belgia. Orang ini dapat diambil informasinya karena dia merupakan tentara yang suka menulis buku harian. Dia adalah Edouard Errembault de Dudzeele atau sering dipanggil Errembault.
Dia bukanlah tentara yang karirnya cemerlang seperti beberapa tentara Belanda yang berkarir di tanah jajahan. Dia tentara yang berasal dari orang Belgia dan tidak dapat berbahasa Belanda.
Saat itu, memang seorang prajurit apalagi perwira jika tidak dapat berbahasa Belanda sulit berkembang. Dia bersedia direkrut oleh Kolonial Belanda tujuannya mencari uang karena sejak kekalahan Napoleon di Eropa, hampir semua mantan tentara Napoleon jatuh miskin.
Jasa Errembault dalam Perang Jawa adalah ketika dia dapat menangkap ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati dan putrinya Raden Ayu Basah di Karangwuni Glagah Kulonprogo pada tanggal 14 Oktober 1829.
Lalu apa bentuk kekejaman yang diceritakan Errembault dalam catatan hariannya?
Errembault mengatakan bahwa memenggal kepala orang-orang pribumi merupakan hal yang biasa untuk menakut-nakuti mereka agar takut melakukan perlawanan.
Sebaliknya di pihak pengikut Diponegoro juga melakukan hal yang sama sebagai balasan apa yang dilakukan orang-orang Eropa dan tentara pribumi yang bergabung dengan pasukan Belanda.
Pemenggalan kepala itu sendiri Errembault di buku hariannya mengistilahkan memendekkan mereka beberapa inci. Atau istilah lain menempatkan kepala mereka lebih rendah dari pada bahu.
Biasanya kepala yang terpenggal itu ditancapkan diujung tombak atau pepohonan yang dapat terlihat sebagai peringatan bagi para pengikut Diponegoro.
Memamerkan deretan potongan kepala manusia dengan ditancapkan diujung tombak-tombak itu juga sering dipamerkan di jalan raya di luar benteng-benteng yang didirikan Kolonial Belanda.
Praktik memamerkan kepala yang dipenggal ini juga dilakukan oleh Diponegoro. Dikabarkan ketika pengikut Diponegoro memperlihatkan potongan kepala kepada Sang Pangeran, ditanggapi Diponegoro dengan senyuman kepuasan.
Tentu saja pemenggalan kepala musuh itu menjadi suatu yang lumrah dari kedua belah pihak. Untuk itu tidak mengherankan jika gugurnya panglima perang Pangeran Jayakusuma I (putra HB II) beserta kedua anaknya kepalanya dipenggal dan diserahkan kepada Jenderal De Kock di Magelang dan oleh Sang Jenderal diserahkan kepada Sultan untuk dimakamkan di Banyusumurup.
Kekejaman lain perang yang dilakukan oleh tentara Eropa yang pernah dicatat oleh Errembault adalah tertangkapnya pengikut Diponegoro sebagai mata-mata di perkemahan tentara kolonial.
Saat itu Errembault berkemah di Bagelen Timur. Tiba-tiba ada orang Jawa ditangkap dan diketahui sebagai mata-mata karena berkeliaran saat jam malam.
Untuk menghukumnya mereka yang diidentifikasi sebagai mata-mata dibawa ke tepi Sungai Bogowonto kemudian ditembak di kepalanya hingga tembus sampai tengkorak belakang, lalu mayatnya dilemparkan ke Sungai Bogowonto sebagai makanan ikan sungai itu.
Pengalaman memilukan menurut Errembault adalah saat dia menjadi bagian dari penyerangan bekas Istana Plered pada 9 Juni 1826. Saat itu dia sebagai komandan yang membawahi 900 prajurit Eropa dan pribumi yang kebanyakan dari Legiun Mangkunegaran.
Serangan fajar itu menewaskan 700 orang-orang pengikut Diponegoro yang mempertahankan benteng bekas Istana Amangkurat I tersebut dalam waktu pertempuran satu hari. Dalam catatan hariannya Errembault mengatakan bahwa pembantaian di Plered Bantul itu sangat mengerikan.
Dalam catatan Errembault, ada lagi pembantaian yang dilakukan oleh dua orang perwira yang baru datang dengan pasukannya dari Eropa tetapi sudah sok jago dengan melakukan pembantaian semena-mena.
Bala bantuan yang didatangkan dari Eropa itu datang dua tahap pada tahun 1827 dan 1828 yang sudah dihinggapi rasa benci dan dengki terhadap para pribumi Jawa.
Pada bulan Mei dan Agustus 1828 di bawah komandan Kolonel Auguste Joseph Jacob Vermesch dan Letnan Kolonel Josep Ledel.
Pembantaian yang dilakukan oleh dua perwira bersama pasukannya itu adalah pembantaian yang paling mengerikan dengan membantai para wanita dan anak-anak di Bagelen Timur dan di daerah Tempel Sleman.
Ketika melihat pembantaian itu, Errembault mengatakan Membunuh musuh atau seorang pemberontak bersenjata itu wajar, tetapi dengan membantai kaum wanita dan anak-anak tanpa balas kasihan itu sangat mengerikan. Saya merasa malu pagi ini ketika saya berjalan diperkemahan prajurit dan mendengar mereka dengan bangganya sesumbar mengenai kekejamaan yang mereka lakukan secara berlebihan pada malam sebelumnya."
"Jika mereka beranggapan bahwa untuk mengakhiri perang ini dengan cara itu, mereka sama sekali salah. Sebaliknya malah cara ini akan memperpanjang perang, karena dengan kekejaman itu bukannya menarik penduduk lokal untuk membelot (menyeberang) ke pihak kita, tetapi mendorong mereka untuk menjahui tentara kolonial, imbuhnya.
Tips Sat-Set untuk Skincare Routine Kamu
Satu catatan penting dari yang disampaikan oleh Errembault adalah adanya perubahan penilaian Errembault terhadap orang-orang Jawa pengikut Diponegoro.
Di awal kedatangan Errembault di Batavia pada 25 Maret 1826. Pada awalnya Errembault sangat memandang rendah pasukan Diponegoro dengan menyebut mereka sebagai bajingan, bangsat, dan berandalan. Tetapi ketika Errembault menginjak tahun keduanya di medan laga, penilaian Errembault terhadap pasukan Diponegoro mulai berubah.
Errembault tidak lagi menyebut pasukan Diponegoro sebagai bangsat dan bajingan, tetapi menuliskan tentang keberanian pasukan Diponegoro seperti para ulamanya, pasukan santri dan pasukan elite Diponegoro (Bulkio).
Errembault sangat memuji panglima perang Sentot Prawirodirjo karena strategi perang dan keberaniannya di medan laga. Sentot dikenal sebagai panglima perang yang mematikan ketika melakukan serangan kilat dan penyergapan yang mematikan. Errembault mengatakan mereka adalah orang yang bertempur dengan sangat baik dan mereka adalah pengintai yang luar biasa.
Dalam catatan hariannya Errembault memuji pasukan Diponegoro sebagai berikut Bagi saya sendiri, saya lebih suka memerintah prajurit pribumi dari pada orang Eropa. Saya tidak banyak menghadapi prajurit yang sakit-sakitan (prajurit Eropa sering sakit tropis). Orang-orang Jawa itu jika dipimpin dengan baik, maka mereka bertarung sehebat orang Eropa.
Penulis Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta
Bacaan Rujukan
Peter Carey. 2019. Kuasa Ramalan Jilid 2 . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Peter Carey, Farish A. Noor. 2022. Ras, Kuasa, Dan kekerasan Kolonial Di Hindia Belanda 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Gunawan Dkk (penerjemah). 2019. Babad Diponegara. Yogyakarta: Narasi.