Kearifan Lokal Sumatera Utara
JAKARTA, iNews.id - Kearifan lokal Sumatera Utara terus dilestarikan selain sebagai simbol kebudayaan. Beberapa kearifan lokal yang masih menonjol yakni upacara adat.
Sumatera Utara yang dihuni sejumah suku tentunya menciptakan kebudayaan yang beragam. Bahkan, hasil budaya ini menjadi sebuah kearifan lokal.
Diketahui jika kearifan lokal merupakan ciri khas dan nilai suatu masyarakat yang menempati satu daerah. Sifatnya juga diwariskan kepada anak cucu hingga mendarah daging.
Berikut Kearifan Lokal Sumatera Utara
1. Tarian Gundala-Gundala
Gundala-Gundala yakni sebuah tarian yang berasal dari Suku Karo. Disebutkan dalam portal resmi Budaya Indonesia, tarian ini digunakan sebagai ritual pemanggil hujan dalam upacara Ndilo Wari Udan ketika terjadi kemarau panjang.
Terciptanya kearifan lokal Sumatera Utara ini berawal dari seorang raja bernama Sibayak. Saat itu, sang raja bertemu dengan seekor burung raksasa. Rupanya burung itu jelmaan seorang pertapa sakti bernama Gurda Gurdi.
Geliatkan Wisata di Karanganyar, Diskominfo Ajak Wartawan Belajar Pariwisata di Pulau Bali
Dia pun membawa pulang Gurda Gurdi dan dijadikan sebagai penjaga putrinya. Burung Gurda Gurdi ini ternyata memiliki kekuatan yang bersumber pada paruhnya.
Namun, tanpa sengaja paruh tersentuh oleh sang putri. Gurda Gurdi menjadi marah besar dan memberontak. Mengetahui hal tersebut, Raja Sibayak mengutus pasukannya untuk menyerang Gurda Gurdi hingga mati.
Kematian Gurda Gurdi rupanya menimbulkan kesedihan bagi masyarakat Karo hingga langit pun hujan lebat seolah-olah ikut menangis. Lewat cerita itu, akhirnya muncul ritual Gundala-Gundala.
Biasanya para penari yang ikut dalam ritual ini akan mengenakan aksesoris berupa topeng dan pakaian khusus yang unik.
2. Tarian Sigale-Gale
Kearifan Lokal Sumatera Utara ini berbau mitos. Ada kepercayaan jika ada seseorang yang terkemuka meninggal dunia namun belum memiliki keturunan itu dinilai sebuah kesialan. Untuk mencegah hal itu, maka diadakan ritual tarian duka menggunakan boneka kayu yang dikenal dengan Sigale Gale.
Versi lain menyebutkan jika tari si gale-gale tercipta karena seorang raja yang tinggal di wilayah Toba. Disebutakn sang raja memiliki seorang anak yang bernama Manggale.
Sang raja saat itu memerintahkan Manggale untuk berperang. Nahas nyawa sang anak tewas saat peperangan tersebut. Raja yang terus tertekan pun kondisinya memburuk hingga tabit istana memberikan saran untuk raja membuatkan pahatan patung dari kayu dengan wajah menyerupai anaknya.
Saat patung tersebut telah selesai, seorang tabib kerajaan pun melakukan upacara ritual dengan meniup sordam dan memanggil roh anak sang raja untuk dimasukan kedalam patung tersebut. Kesehatan sangraja pun semakin membaik ketika melihat patung tersebut persis dengan wajah anaknya.
3. Mangongkal Holi
Mangongkal Holi merupakan Kearifan Lokal Sumatera Utara yang dialakukan masyarakat Batak. Tradisi ini yakni membongkar kembali tulang-belulang leluhur yang berada di tanah perantauan dan memindahkannya ke tanah kelahiran.
Upacara Mangongkal Holi merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal. Upacara ini juga bertujuan untuk mempersatukan keturunan leluhur agar dapat diketahui siapa saja yang merupakan keturunan leluhur tersebut.
Namun, hingga saat itu tidak diketahui secara pasti sejak kapan upacara ini diadakan.
Pelaksanaan upacara Mangongkal Holi biasanya memakan waktu selama tiga hari. Keluarga juga harus menyiapkan makanan dan menyembelih babi dan kerbau. Tradisi ini tergolong salah satu upacara adat terbesar dalam kebudayaan Batak.
4. Fahombo
Kearifan Lokal Sumatera Utara selanjutnya yakni Fahombo atau Hombo Batu. Tradisi ini terus dilestarikan warga Nias. Bahkan, atraksi pelompati batu ini juga diabdikan dalam uang kertas rupiah.
Fahombo dulunya merupakan ritual pendewasaan bagi kaum laki-laki Suku Nias yang diyakini mengandung unsur magis dari roh leluhur. Namun kini, ritual ini telah menjadi sebuah pertunjukan olahraga yang ramai diminati banyak orang.
Uniknya, tidak semua pemuda Nias mampu melakukannya meskipun sudah berlatih sejak kecil.
5. Marari Sabtu
Ritual Marari Sabtu merupakan ibadah bagi umat penganut Ugamo Malim, agama leluhur Suku Batak. Para penganut ini biasanya disebut Parmalim. Sebutan Parmalim ditabalkan setelah Raja Sisingamangara XII mangkat. Sebelum pergi, dia menitahkan agar ajaran ini diteruskan kepada Raja Mulia, Ihutan Ugamo Malim.
Kepercayaan ini berpusat di Huta Tinggi, tepatnya di Desa Pardouman Nauli, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bale Pasogit yang hanya ada di daerah tersebut.
Ritual ini bertujuan untuk mensucikan diri dari dosa-dosa. Pada kesempatan tersebut, Parmalim akan diberi poda atau bimbingan agar lebih tekun dalam menjalankan nilai-nilai Ugamo Malim.