Pontjo Sutowo: Indonesia Harus Miliki Sistem Hukum Sendiri
JAKARTA, iNewsTangsel.id - Hukum adalah salah satu pilar utama peradaban manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Sebagai negara hukum yang merdeka dan berdaulat, Indonesia idealnya memiliki sistem hukum nasional yang berbasis pada jati diri dan kepribadian bangsa, serta mengacu pada filosofi dan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia, yang terkristal dalam Pancasila.
Hal ini disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema "Mempersoalkan Paradigma Hukum Nasional: Mewujudkan Negara Hukum Pancasila” yang diselenggarakan secara daring, Jumat (13/12/2024).
Pontjo menjelaskan bahwa tatanan ideal masyarakat harus dibangun dan diwujudkan melalui hukum, karena hukum memiliki fungsi membentuk dan menciptakan tatanan sosial. Dengan demikian, hukum di Indonesia seharusnya berfungsi untuk memperkuat identitas keindonesiaan sekaligus peradaban sosial bangsa. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat relevan dan mendesak untuk merefleksikan paradigma hukum nasional yang ada.
“Jika kita melihat lebih dalam pada substansi, struktur, dan budaya hukum di Indonesia, masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Agenda pembaruan hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia harus terus dilanjutkan. Namun, kenyataannya hingga saat ini, sistem hukum kita masih banyak mewarisi paradigma civil law dari masa kolonial Belanda,” ungkap Pontjo.
Ia juga mengakui bahwa Indonesia telah mengadopsi beberapa elemen dari tradisi common law, terutama prinsip rule of law. Namun dalam praktiknya, karakteristik civil law tetap dominan. Tradisi ini tercermin dalam pendekatan hukum positivistik yang bersifat legal-formal, berpusat pada teks undang-undang sebagai sumber hukum utama, dan sangat mengutamakan kepastian hukum.
“Tradisi ini cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam pandangan positivistik, hukum yang dibuat oleh penguasa secara legal-formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum. Akibatnya, ruang untuk mengakomodasi hukum yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat menjadi sangat terbatas,” jelasnya.
KPK Didukung Senator DPD RI Papua Barat Daya untuk Tuntaskan Kasus Korupsi Tanpa Pandang Bulu
Menurut Pontjo, tradisi hukum yang terlalu positivistik dan legal-formal rentan terpengaruh bias kekuasaan politik. Produk hukum yang dihasilkan sering kali hanya menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik eksekutif maupun legislatif.
“Hukum yang seperti ini mudah tergelincir menjadi instrumen kekuasaan, yang oleh para teoritikus hukum kritis disebut sebagai autocratic legalism. Fenomena ini berhubungan erat dengan menurunnya kualitas demokrasi, pengabaian kedaulatan rakyat, dan melemahnya keadilan sosial. Ciri-cirinya terlihat pada demokrasi yang cacat serta semakin menyempitnya ruang partisipasi warga,” tutup Pontjo.