Apa Arti Gelar Gus? Ternyata Artinya Bukan Sembarangan
Gus menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti ”nama julukan atau nama panggilan kepada laki-laki”. Namapanggilan Gus ini kerap digunakan untuk menyapa atau memanggil orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi seperti Ulama, Kyai dan orang yang dihormati.
Akhir-akhir ini, penggunaan sematan Gus untuk menyebut seseorang semakin meluas, mencakup berbagai kalangan seperti politikus, YouTuber, paranormal, dan pelaku pengobatan alternatif. Istilah ini kini telah menjadi semacam identitas diriyang memiliki nilai jual tinggi, menarik perhatian banyak orang yang ingin menjangkau segmen masyarakat tertentu.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Gus bukan sekedar kata tiga huruf ia membawa makna mendalam yang mencakup sosok, nasab, keilmuan, dan tradisi pesantren. Tidak sembarang orang dapat menggunakan gelarini.
Gus Arti Istimewa Bagi Orang Jawa
Mungkin benar, tetapi mungkin juga keliru. Karena "Gus" adalah kependekan dari "bagus" dalam bahasa Jawa, yang berarti luas, baik, pintar, dan ganteng, panggilan "Gus" khusus untuk anak laki-laki dan mengandung pujian dan doa.Arti Gus sebenarnya lebih akrab didengar di kalangan santri dan masyarakat tradisional Jawa. Demikian di beberapa daerah juga terlebih di pulau Jawa banyak memanggil anak laki-lakinya dengan panggilan Gus, hal ini dikarenakan Gus mengandung doa. Namun biasanya sering juga di sambungkan di bagian nama anaknya seperti Agus atau Bagus.
Menurut Tokoh
Menurut HM Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans), pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, mereka yang tidak berasal dari keturunan kiai tetapi dipanggil Gus disebut sebagai Gus naturalisasi. Ini termasuk praktik kapitalisasi panggilan Gus yang sering disalahgunakan. Gus Hans menjelaskan bahwa definisi Gus adalah sebutan untuk putra seorang kiai. Jika seseorang bukan keturunan kiai namun menggunakan gelar ini, maka mereka adalah Gus jadi jadian, baik karena media maupun pengagum.Meskipun tidak semua yang menyandang gelar Gus harus ahli dalam agama, Gus Hans menekankan bahwa sangat disayangkan jika gelar ini digunakan untuk menipu atau mencari keuntungan finansial. Saat ini, siapa pun dapat mengklaim sebagai Gus demi mendapatkan keuntungan. Praktik pengobatan alternatif sering kali dibungkus dengan atribut agama atau gelar Gus untuk menarik lebih banyak pasien, tanpa perlu adanya uji kompetensi yang ketat.
Bagi Gus Hans, penggunaan gelar Gus seharusnya datang dengan tanggung jawab moral untuk menjaga nama baik orang tua. Ada beban mental ketika kemampuan individu tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. Hal serupa juga diungkapkan oleh KH Fahmi Amrullah Hadzik, pengasuh Pesantren Putri Tebuireng, yang menegaskan bahwa gelar Gus merupakan penanda bahwa seseorang adalah putra ulama atau kiai dan harus diiringi dengan akhlak yang baik.
Kiai Ahmad Roziqi dari Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng menambahkan bahwa gelar Gus seharusnya memiliki nasab dan sanad. Nasab berarti memiliki garis keturunan dari tokoh agama Islam, sedangkan sanad mencakup kapasitas keilmuan yang memadai. Dengan demikian, penggunaan gelar Gus tidak boleh sembarangan dan harus mencerminkan integritas serta kualitas keilmuan yang sesuai dengan tradisi pesantren.
Penggunaan dalam Organisasi NU
Panggilan 'Gus' memiliki makna yang mendalam dalam konteks Nahdlatul Ulama (NU), terutama di Jawa, di mana istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada putra seorang kiai. Tradisi ini juga diikuti oleh daerah lain yang memiliki sebutan khusus untuk anak kiai, seperti 'lora', 'ajengan', 'buya', dan lainnya. Asal usul panggilan 'Gus' dapat ditelusuri dari kata "Bagus", yang dalam konteks keraton merujuk pada putra raja. Dalam buku Baoesastra Djawa karya Poerwadarminta, disebutkan bahwa istilah ini berasal dari sebutan untuk anak raja, yaitu Raden Bagus, yang kemudian disingkat menjadi Den Bagus. Seiring waktu, sebutan ini mulai meluas dan tidak lagi terbatas pada usia; bahkan setelah dewasa, putra kiai tetap dapat dipanggil Gus.Dalam jurnal Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis oleh Millatuz Zakiyah (2018), dijelaskan bahwa gelar Gus juga mencerminkan ketokohan seseorang dalam konteks agama. Seseorang dengan pemahaman agama yang mendalam, meskipun bukan keturunan kiai, juga bisa mendapatkan panggilan ini. Dengan demikian, dari sudut pandang sosiologis, gelar 'Gus' dapat diperoleh melalui dua cara: ascribed status (status yang diberikan berdasarkan keturunan) dan achieved status (status yang diperoleh melalui usaha dan pengorbanan).
Panggilan 'Gus' tidak hanya menjadi simbol bagi putra kiai tetapi juga menunjukkan pengakuan terhadap kompetensi individu dalam bidang agama. Dalam masyarakat NU, gelar ini sering kali disematkan kepada mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama, terlepas dari latar belakang keturunan mereka.
Dengan demikian, penggunaan panggilan 'Gus' mencerminkan dinamika sosial yang kompleks, di mana status sosial seseorang dapat berasal dari faktor keturunan maupun dari pencapaian pribadi dalam ilmu dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini menjadikan gelar 'Gus' sebagai suatu simbol kehormatan dan tanggung jawab dalam menjaga nama baik serta nilai-nilai luhur agama.MG/Alfin Berkat Pratama Zai