Cerita Perjuangan Warga Desa Pasar Rawa Langkat Pertahankan Keberadaan Mangrove

Cerita Perjuangan Warga Desa Pasar Rawa Langkat Pertahankan Keberadaan Mangrove

Terkini | okezone | Rabu, 4 Desember 2024 - 09:07
share

LANGKAT - Penanganan kawasan mangrove menghadapi beberapa masalah penting yang perlu diatasi, agar ekosistem dapat dilestarikan dengan baik. Kini, banyak konversi lahan mangrove untuk pembangunan, seperti untuk perumahan, industri, atau perkebunan, hal itu menjadi salah satu penyebab utama hilangnya ekosistem mangrove.

Hal itu pun dikatakan oleh Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Penghijauan Maju Bersama, Kasto Wahyudi (46) kepada wartawan di Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

"Dulu itu hutannya (mangrove) rusak karena ditebangi oleh masyarakat, dibuat jadi bahan baku arang. Hutannya sudah rusak sekali, kejadian di tahun 2004, kata Wahyudi dikutip Rabu (4/12/2024).

Menurut Wahyudi, masyarakat setempat selalu gagal saat membudidaya ikan, kepiting dan udang di tambak. Alasannya biota itu tak mampu bertahan di perairan tersebut, karena hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyerap kandungan racun berkurang drastis.

Masyarakat waktu itu bertambak di sini sudah gagal semua, karena dulu kami nggak tahu ternyata hutan yang hancur itu membuat biota tidak bisa berkembang, ucap Wahyudi.

Lantaran hutan seluas 178 hektar itu semakin menipis, warga setempat kemudian menanam mangrove kembali secara bertahap sejak 2005. Namun tujuan menanam mangrove bukan dijadikan sebagai habitat ikan, tapi untuk ditebang kembali sebagai bahan arang.

Saya cerita apa adanya saja, niatnya dulu memang dulu mau ditebang pilih, karena kami tidak tahu ini programnya untuk apa, dan dulu di sini pemanfaatan mangrove sebagai arang, termasuk saya juga bandar arangnya tempo hari, bebernya.

Namun setelah mangrove tumbuh besar pada 2015, ekosistem di perairan payau tersebut perlahan pulih. Warga mulai menyadari bahwa mangrove berperan penting sebagai habitat ikan, mencegah intrusi air dan abrasi, penyerap karbondioksida serta lainnya.

Ternyata menanam dengan menebang itu sangat beda jauh, menebang hanya butuh waktu hitungan jam tetapi menanam dan tumbuh perlu waktu 10 tahun. Kami berubah pikiran ternyata sayang sebenarnya untuk ditebang lagi, katanya.

Pada tahun 2017, warga setempat mendapat surat dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, agar mengikuti program perhutanan sosial. Tahun 2018, warga setempat mengikuti program tersebut hingga akhirnya mendapatkan izin Kelompok Tani Hutan seluas 178 hektar.

Sekarang hutannya besar dan bagus, tidak ada penebangan lagi. Setelah izin keluar, kami beserta masyarakat kami membuat keputusan bawah dapur arang semuanya ditutup, tegasnya.

Untuk memperkuat komitmen ini, kata dia, bersama warga desa membuat kesepakatan baru berupa sanksi. Para penebang mangrove yang ditangkap, harus membayar denda ganti rugi.

Kalau nanti ada yang nebang mereka akan kami tangkap dan denda, besaran dendanya itu kami buat yaitu saat menebang satu batang pohon maka dia menggantikan 1.000 batang bibit mangrove, tuturnya.

Kata dia, hutan mangrove di wilayahnya semakin besar karena adanya peran Pemerintah Pusat saat 2020 dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Pada 2010, BRGM memberi pendampingan tata cara mengolah dan melestarikan mangrove, sekaligus membeli bibitnya dari masyarakat.

Kami di BRGM diberikan pembibitan sendiri, nah pembibitan sendiri itu duitnya dibayar ke kami. Uangnya kami manfaatkan, salah satunya untuk membangun saung ini, ujarnya.

Uang itu, kata dia, juga digunakan untuk membangun rumah ikan. Dia bersyukur, hutan mangrove yang semakin lebat justru membuat ekosistemnya semakin baik. Ini kami masih ada sisa uang lagi, kami belikan perahu kecil, kami beli alat tangkap ikan, ucapnya.

Sementara itu, Ketua Lembaga Pengolahan Hutan Desa (LPHD) Pasar Rawa Gula Nipah, Rudi menceritakan dahulunya Desa Pasar Rawa merupakan wilayah yang luas dan kaya dengan mangrove.

"Dahulu desa kami sangat kaya akan mangrove, dan kini dibabat habis menjadisawit. Masyarakat pun menjadi kehilangan mata pencaharian, kami bingung sehingga harus bertahan hidup, perjuangan kami sulit. Kami memotong kayu dipenjara bertahun-tahun, tetapi mereka pengusaha-pengusaha malah menebang dan dijadikan lahan sawit," tegas Rudi.

Menurutnya, warga secara bersama-sama menanam mangrove bekas-bekas hutan, dengan menjaga agar tidak abrasi. "Kami hampir prustasi menjaga dan menanam hutan," pungkasnya.

Diketahui, KTH dan LPHD masuk dalam program M4CR, yang bertujuan untuk merehabilitasi ribuan hektar mangrove. Lokasinya berada di empat provinsi, yaitu di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Langkah ini dilakukan demi memperkuat ketahanan pesisir, mengurangi emisi karbon, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain berfokus pada pemulihan ekosistem mangrove, M4CR juga mendorong pemberdayaan ekonomi lokal melalui berbagai program berkelanjutan yang melibatkan masyarakat, mulai dari ekowisata, produksi kuliner lokal dan pelatihan pengelolaan sumber daya alam.

Topik Menarik