Takwil dalam Tafsir Al-Quran: Begini Dalil Mereka yang Menolak Pemahaman Metaforis
DALAM linguistik, "metafora" (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna lain.
Muhammad Husen al-Zahaby dalam "al-Tafsir Wa 'l-Mufassirun" menjelaskan dalam disiplin ilmu al-Qur'an pengalihan arti itu disebut takwil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai "mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya."
Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan al-Qur'an.
Tapi bagaimana dengan al-Qur'an yang redaksi-redaksinya merupakan susunan Ilahi? Apakah mengenal pula metafora?
Di samping ada yang menerima adanya metafora, ada juga yang menolak. Prof Dr M Quraish Shihab dalam artikel berjudul "Persoalan Penafsiran Metaforin atas Fakta-Fakta Tekstual" dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan mereka yang menolak pemahaman metaforis dalam teks-teks keagamaan antara lain menggunakan argumentasi bahwa metafora sama dengan kebohongan, sedangkan al-Qur'an adalah firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu.
Seorang pembicara tak menggunakan metafora kecuali jika ia tak mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat hakiki, dan tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala sesuatu.
Menurut Quraish, kedua argumentasi di atas jelas sekali kekeliruannya, sehingga berbagai ahli menolaknya. Ibnu Qutaibah menolak dengan menyatakan, "Seandainya metafora atau majaz dinilai kebohongan, maka alangkah banyaknya ucapan-ucapan kita merupakan kebohongan."
Al-Sayuthi (w. 911 H/1505 M) menulis dalam bukunya al-Itqan: "Metafora adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak keberadaannya dalam al-Qur'an, maka tentunya sebahagian unsur keindahan pun tak akan ada padanya."
Sedangkan majaz, menurut kaidah kebahasaan, dapat dilakukan akibat adanya satu dari dua hal berikut: (1). Terdapat persamaan antara makna yang dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti literalnya dengan makna yang dikandung oleh pengertian metaforis yang ditetapkan. (2). Adanya perkaitan atau hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang seharusnya bukan kepadanya.
Ia dinisbahkan, misalnya "langit menurunkan hujan." Di sini terdapat perkaitan antara langit dan hujan, karena langit atau awan adalah sumber kedatangannya dan dengan demikian kepadanya ia dinisbahkan.
Disepakati oleh mereka yang berpendapat adanya metafora, bahwa dibutuhkan dukungan petunjuk atau argumen guna mengalihkan satu makna hakiki ke makna metaforis. Tanpa adanya petunjuk maka penakwilan tak dapat dilakukan. Tapi bagaimana bentuk petunjuk atau argumen tersebut, diperselisihkan mereka.
Kelompok yang dikenal dengan "al-Dhahiriyah" yaitu pengikut-pengikut Daud al-Dhahiri (w. 270 H) tak membenarkan adanya penakwilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks keagamaan, kecuali bila pengertian yang ditetapkan itu telah populer di kalangan orang-orang Arab pada masa turunnya al-Qur'an, serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung pengalihan makna atau penakwilan tersebut.
Ibnu Hazem (w. 456 H/1064 M) menegaskan,"Selama arti yang dipilih bagi satu kosakata atau ungkapan telah dikenal di kalangan sahabat dan Tabi'in dan sejalan pula dengan bahasa Arab klasik, maka arti tersebut harus diterima baik dalam pengertian majaz, maupun hakiki."
Hanya perlu dicatat, satu kosakata atau ungkapan, tak dialihkan ke makna metaforis kecuali setelah makna hakiki tak dapat digunakan.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pentakwilan ayat-ayat al-Qur'an":
Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
Longki Djanggola : Selamat Datang Gubernur Sulteng Periode 2024–2029, Bapak Ahmad Ali
Tidak tepat, kata al-Syathibi, memahami kata khalila dalam QS al-Nisa' 125: Allah menjadikan Ibrahim khalila sebagai seorang "fakir" karena pengertian tersebut bertentangan dengan nash al-Qur'an yang lain, yaitu bahwa "ia (Ibrahim) menjamu tamunya dengan daging anak sapi yang dipanggang" (QS. Hud:69), yang menunjukkan beliau bukan seorang fakir; di samping bahwa kenyatann sejarah membuktikan bahwa Ibrahim as bukan seorang fakir.
Kedua, arti yang dipilih tersebut telah dikenal oleh bahasa-bahasa Arab klasik. Dalam syarat ini ter 19, "Dia Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup" dapat diartikan dengan salah satu atau dengan kedua arti tersebut di atas, demikian pula sebaliknya kata mati.
Dalam hal ini tentunya kita tak dapat menyalahkan mereka yang memahami Firman Allah dalam QS al-Baqarah 243, "Apakah kamu tak mengetahui orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka yang jumlah mereka beribu-ribu (keluar) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka 'matilah kamu,' kemudian Allah menghidupkan mereka, sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tak bersyukur."
Kita tak mempermasalahkan walaupun seandainya kita tak sependapat dengan orang-orang yang memahami kata "matilah kamu" dan "Allah menghidupkan mereka" dalam pengertian "kematian semangat jihad mereka" kemudian "kehidupan" semangat jihad tersebut sehingga kembali ke kampung halaman mereka untuk mengusir orang yang selama itu menganiaya mereka.