Masalah Takwil dalam Tafsir Al-Qur'an: Muhammad Abduh yang Rasional

Masalah Takwil dalam Tafsir Al-Qur'an: Muhammad Abduh yang Rasional

Terkini | sindonews | Sabtu, 23 November 2024 - 19:38
share

PENGANUT aliran Rasional melakukan takwil dalam penafsiran Al-Qur'an dengan menitik beratkan tolok ukurnya pada akal mereka. Kalau pun menggunakan argumentasi kebahasaan, maka yang digunakan adalah riwayat-riwayat yang sangat lemah atau dibuat-buat.

"Sebagian ulama menilai penganut Rasional sangat memperluas penggunaan metafora dengan menggunakan pemahaman tamsil atau perumpamaan bagi ayat-ayat al-Qur'an," tulis Prof Dr M Quraish Shihab dalam buku berjudul " Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah ".

Muhammad Abduh (w. 1906 M) dinilai sebagai salah seorang tokoh penganut aliran ini. Ayat-ayat yang menguraikan kisah kejadian Adam as pada surah al-Baqarah 30 dan seterusnya, dipahaminya atas dasar tamsil, sehingga tak ada dialog sebagaimana tersurat, tetapi penyampaian Tuhan kepada malaikat tentang rencana-Nya menciptakan khalifah di bumi, adalah pertanda kesiapan bumi untuk menyambut satu makhluk yang dapat mengolahnya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia.

Pertanyaan malaikat kepada Tuhan tentang khalifah yang dapat merusak dan menumpahkan darah, dipahami Abduh sebagai gambaran tentang potensi dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan.

Pengajaran Tuhan kepada Adam tentang nama benda-benda, adalah gambaran tentang potensi manusia mengetahui serta mengolah dan mengambil manfaat segala yang terdapat di bumi ini.

Pemaparan pertanyaan kepada malaikat dan ketakmampuan mereka menjawab, menunjukkan keterbatasan hukum-hukum alam. Sujudnya Malaikat kepada Adam, menunjukkan kemampuan manusia memanfaatkan hukum-hukum alam.

Keengganan Iblis sujud, menandakan kelemahan manusia dan ketakmampuannya menghilangkan bisikan-bisikan negatif yang mengantar kepada perselisihan, perpecahan, agresi dan permusuhan di muka bumi ini.

Abduh ketika menguraikan tentang "malaikat," mengemukakan dua pendapat.

Pertama, bahwa malaikat merupakan makhluk gaib yang tak dapat diketahui hakikatnya namun harus dipercaya wujudnya.

Sedang pendapat yang kedua, adalah bahwa "malaikat merupakan makhluk-makhluk Allah yang bertugas dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti menumbuhkan tumbuh-tumbuhan memelihara manusia dan sebagainya."

Hal ini menurut Abduh, adalah isyarat yang lebih jelas dari satu redaksi tentang satu ciri tertentu bahwa pertumbuhan dalam tumbuh-tumbuhan terjadi tak lain kecuali dengan adanya Roh yang dihembuskan Allah SWT ke dalam benihnya, sehingga dengan demikian terjadilah kehidupan bagi tumbuhan tersebut.

Demikian pula halnya dengan manusia dan binatang. Yang demikian itu menurut Abduh dinamai, dalam istilah agama dengan "malaikat."

Selanjutnya Abduh menulis, "Bagi mereka yang tak mengindahkan penamaan yang ditetapkan agama, hal tersebut mereka namakan natural power karena mereka tak mengenal dalam kehidupan ini kecuali apa yang tampak dan atau yang tampak bekasnya dalam alam nyata.

Satu hal yang pasti, kata Abduh selanjutnya, bahwa hakikat setiap ciptaan terdapat sesuatu yang menjadi sumber ketergantungannya serta sistem wujudnya.

Hal ini tak dapat diingkari siapa pun yang berakal walau pun mereka tak beriman atau mengingkari bahwa hal tersebut dinamai malaikat, demikian pula sebaliknya hal tersebut tak diingkari oleh seseorang yang beriman walaupun ia mengingkari penamaan tersebut dengan "natural power" atau hukum alam.

Muhammad Abduh menambahkan, dirasakan oleh mereka yang mengamati dirinya, atau membanding-bandingkan pikiran dan kehendaknya yang mempunyai dua sisi baik dan buruk, bahwa dalam batinnya terjadi pergolakan, seakan-akan apa yang terlintas dalam pikirannya itu sedang diajukan ke suatu sidang Majelis Permusyawaratan yang ini menerima dan yang itu menolak, yang ini berkata "Kerjakanlah" dan yang itu "Jangan," demikian halnya sehingga pada akhirnya menanglah salah satu pilihan.

Proses demikian yang terdapat dalam jiwa setiap manusia, tak mustahil dinamai Allah atau dinamai penyebab hal tersebut sebagai "malaikat."

Demikian antara lain penakwilan yang dilakukan Muhammad Abduh, yang kemudian diikuti oleh tak sedikit dari ulama-ulama sesudah masa beliau.

Quraish Shihab mengatakan kita dapat memahami motivasi Muhammad Abduh dan penganut-penganut alirannya dalam menggunakan akal seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib, namun hal ini bila diturutkan tanpa batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan kemudian dalam perkembangan pemikiran selanjutnya.

Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu).

Tapi tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian!

Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak harus ditakwilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang dianggap logis sehingga dipahami akal.

Karena kalau hal tersebut harus dipaksakan maka tak jarang ditemukan pemahaman-pemahaman yang tak hanya bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan hakikat keagamaan.

Ahmad Musthafa al-Maraghi salah seorang penganut aliran Abduh menulis dalam tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Saba', "Dan sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman) Hai gunung-gunung bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud."

Al-Maraghi menulis bahwa pengertian ayat tersebut adalah bahwa "gunung mengantar Daud bertasbih mensucikan Allah, dengan jalan pandangan yang diarahkan Daud kepada keajaiban tersebut berfungsi mengingatkan sebagaimana seseorang mengingatkan yang lain."

Pendapat di atas dinilai sementara ulama tak sejalan dengan teks ayat di mana yang diperintahkan adalah gunung-gunung, bukannya Daud. Dan yang lebih penting lagi bahwa Mufassir al-Maraghi telah berusaha memahami hakikat tasbih gunung, sedang terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalammya bertasbih kepada Allah dan tak sesuatu pun melainkan bertasbih memujiNya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat) tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" ( QS. al-Isra' 44).

Quraish Shihab mengatakan jika apa yang digambarkan tentang pendapat al-Maragi di atas tak disetujui, tetap harus diakui bahwa pendapat tersebut dari sisi kebahasaan memiliki alasan-alasannya.

Topik Menarik