Tragis, Dokter Anestesi Ini Suntik 20 Kali Obat Bius kepada Pacarnya hingga Meninggal
Seorang dokter anestesi di Tiongkok menuai kecaman setelah tindakannya dalam mengobati insomnia sang kekasih berakhir tragis. Kasus ini menguak pelanggaran etika medis yang serius dan memicu perdebatan luas di dunia maya. Peristiwa tersebut terjadi di Jiajiang, Leshan, Sichuan, dan menyeret nama seorang dokter bermarga Qu ke pengadilan.
Melansir dari South China Morning Post Sabtu (23/11/2024), Qu bertemu kekasihnya, seorang perwakilan penjualan farmasi bernama Chen, melalui aplikasi kencan pada 2022. Hubungan mereka berkembang cepat, namun Chen kemudian meminta Qu memberikan propofol, obat bius yang biasa digunakan untuk anestesi sebagai solusi atas insomnia yang ia alami. Permintaan ini menjadi awal dari serangkaian tindakan berbahaya yang berujung fatal.
Selama enam bulan, Qu rutin menyuntikkan propofol kepada Chen di hotel tempat mereka bertemu. Namun, pada 6 Maret 2024 situasi berubah menjadi bencana. Dalam rentang waktu enam jam, Qu memberikan lebih dari 20 suntikan dengan total hampir 1.300 mg propofol melalui pergelangan kaki Chen. Dosis ini jauh melampaui batas aman untuk penggunaan klinis.
Viman-Diky Akhiri Masa Kampanye dengan Terbangkan 44 Layangan dan Bersalawat 444 Kali Bersama Warga
Propofol sejatinya digunakan untuk menginduksi dan mempertahankan anestesi umum. Menurut ahli, dosis aman untuk induksi biasanya hanya sekira 1,5–2,5 mg per kilogram berat badan. Pada kasus ini, jumlah yang diberikan Qu tidak hanya melampaui standar, tetapi juga menempatkan Chen dalam risiko keracunan yang parah.
Tragisnya, Qu meninggalkan Chen di hotel setelah memberikan suntikan terakhir dan kembali beberapa jam kemudian untuk mendapati bahwa ia telah meninggal dunia. Pemeriksaan forensik mengonfirmasi bahwa penyebab kematian adalah keracunan propofol akut.
Qu segera melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang dan mengaku bersalah. Ia juga memberikan kompensasi kepada keluarga korban sebesar 400.000 yuan (sekitar Rp870 juta) sebagai bentuk permintaan maaf. Namun, langkah ini tidak menghentikan badai kritik dari publik yang mempertanyakan tanggung jawab Qu dan sistem hukum Tiongkok.
Banyak warganet mempertanyakan bagaimana seorang ahli anestesi bisa melakukan tindakan ceroboh seperti itu. Mereka menyoroti bahwa Qu seharusnya memahami risiko obat tersebut, terutama dengan dosis sebesar itu. Beberapa bahkan menganggap bahwa kasus ini seharusnya digolongkan sebagai pembunuhan berencana, bukan kelalaian.
Selain itu, sorotan juga mengarah pada rumah sakit tempat Qu bekerja. Publik mempertanyakan bagaimana ia bisa mendapatkan propofol dalam jumlah besar tanpa pengawasan ketat. Pengawasan terhadap distribusi dan penggunaan obat-obatan berbahaya dinilai terlalu longgar, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan.
Gunakan Propofol untuk Atasi Insomnia Bentuk Penyalahgunaan
Seorang ahli medis di Shanghai menjelaskan bahwa penyalahgunaan propofol untuk mengatasi insomnia tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak sesuai dengan tujuan penggunaannya. “Ini adalah anestesi umum yang dirancang untuk prosedur medis tertentu, bukan untuk digunakan secara sembarangan,” tegasnya.
Kasus ini menyoroti kurangnya regulasi ketat terhadap penggunaan obat-obatan medis di Tiongkok. Dalam sistem yang lebih terkontrol, tindakan Qu mungkin dapat dicegah sejak awal, menyelamatkan nyawa Chen dari tragedi ini.
Pada 1 November 2024, Pengadilan Rakyat Renshou memutuskan Qu bersalah atas pembunuhan karena kelalaian. Ia dijatuhi hukuman penjara selama dua setengah tahun. Namun, hukuman ini memicu kemarahan di dunia maya, di mana banyak orang menganggapnya terlalu ringan untuk kejahatan yang menyebabkan hilangnya nyawa.
“Bagaimana bisa ahli anestesi tidak mengetahui dosis aman? Bukankah ini sudah melewati batas kelalaian?” tanya seorang pengguna media sosial. Kritik ini menjadi sorotan utama, menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap sistem peradilan.
Banyak pihak mendesak pemerintah Tiongkok untuk memperketat regulasi obat-obatan dan meningkatkan pengawasan terhadap praktik medis. Selain itu, masyarakat juga meminta peninjauan kembali hukuman Qu agar mencerminkan keadilan bagi korban dan keluarganya.
Tragedi ini menjadi pelajaran pahit tentang pentingnya tanggung jawab profesional dalam dunia medis. Apa yang dilakukan Qu bukan hanya mencederai kepercayaan publik terhadap tenaga medis, tetapi juga menunjukkan betapa bahayanya penyalahgunaan keahlian tanpa pengawasan.
Di sisi lain, kasus ini menjadi pengingat bahwa sistem pengawasan obat-obatan harus diperbaiki. Tanpa regulasi yang kuat, tragedi serupa berpotensi terulang di masa depan. Pemerintah dan institusi medis memiliki tanggung jawab untuk mencegah insiden semacam ini.
Kematian Chen yang tragis tidak hanya menyisakan duka bagi keluarganya tetapi juga meninggalkan luka mendalam di masyarakat Tiongkok. Kasus ini mengingatkan semua pihak akan pentingnya etika, pengawasan, dan tanggung jawab dalam setiap tindakan medis.