Milad ke-112 Muhammadiyah: Krismuha Kian Menjadi Sorotan
MUHAMMADIYAH kini tengah memperingati milad yang ke-112. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 November 1912 M.
Belakangan, perdebatan tentang Kristen Muhammadiyah atau Krismuha semakin menonjol pada salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia ini. Hal tersebut terjadi karena kian meningkatnya jumlah mahasiswa non-Islam yang kuliah di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto, mengatakan komitmen Muhammadiyah dalam mencerdaskan bangsa mendapat sambutan baik dari banyak pihak di berbagai kawasan, salah satu contohnya adalah di Kupang, Nusa Tenggara Timur .
Ketika berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) beberapa waktu lalu, Agung menyaksikan sendiri inklusivitas yang dibangun oleh Muhammadiyah di sana. Meski sebagai kampus Islam, tapi lebih dari 83 persen mahasiswa UMK adalah non-muslim.
Tidak hanya itu, UMK di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mampu bersaing dengan perguruan tinggi milik agama lain yang jumlah pemeluknya mayoritas di sana. Bahkan, jumlah mahasiswa UMK lebih banyak dibanding universitas agama lain itu.
Kuatnya bangunan relasi sosial itu yang menggerakkan salah satu masyarakat sana yang bukan sebagai warga Muhammadiyah, namun dengan rela hati menghibahkan tanah seluas lebih dari 3 hektar untuk dibangun sekolah Muhammadiyah.
Tidak hanya secara personal, kepercayaan terhadap Muhammadiyah juga diberikan secara kolektif oleh salah satu suku di Labuan Bajo, NTT. Bahkan mereka menghibahkan lahan seluas 63 hektar.
Agung Danarto memandang, jika Muhammadiyah berkembang di suatu kawasan akan memiliki dampak baik pada perkembangan kawasan itu di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, termasuk juga ekonomi, dan kerukunan.
Dampak maju dari hadirnya Muhammadiyah ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan keagamaan yang dimiliki oleh Muhammadiyah, yaitu Islam Berkemajuan sebagai dasar Muhammadiyah untuk memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.
Agama Islam itu adalah agama yang senantiasa mendorong pengikutnya untuk selalu maju, kalau ada orang Islam yang tidak terdorong untuk maju berarti ada sesuatu yang keliru dalam pemahaman agama Islamnya, katanya.
Pandangan Islam Berkemajuan ini adalah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang mengantarkan kejayaan Islam dari yang awalnya tidak dianggap menjadi sebuah peradaban superpower di dunia
Bukan Fenomena Baru
Sejatinya, fenomena Kristen-Muhammadiyah atau Krismuha bukan perkara baru. Hal ini sudah terjadi dan dicontohkan pendirinya, KH Ahmad Dahlan. Abdul Muti menyebut sumbangan pendidikan Ahmad Dahlan yang sangat penting adalah pendidikan antar-iman.
Sebagaimana dijelaskan Kyai Sudja (2009), Kiai Ahmad Dahlan mengizinkan murid-murid OSVIA Magelang yang beragama Kristen untuk mengikuti pendidikan agama Islam ekstrakurikuler yang diselenggarakannya.
Hal ini merupakan terobosan baru,tulis Prof Dr. Abdul Muthi, M.Ed dalam buku berjudul KH Ahmad Dahlan Bab Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan.
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Mu'ti yang Sekum PP Muhammadiyah kini juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kiai Ahmad Dahlan memberikan kesempatan kepada siswa non-Muslim untuk mengenal Islam tidak hanya dari interaksinya dengan Muslim tetapi dari isi ajarannya.
Kiai Ahmad Dahlan adalah seorang yang berkepribadian terbuka. Persahabatannya tidak terbatas dengan kalangan Muslim saja tetapi juga dengan para missionaries dan zending.
Beliau memang beberapa kali melakukan perdebatan dengan mereka, tetapi persahabatannya dengan para tokoh agama Nasrani tetap terbina dengan dengan baik. Tanpa merasa canggung beliau berkunjung ke gereja dengan tetap menggunakan sorban.
Belajar dari Kiai Ahmad Dahlan, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah saat ini menerima siswa dan mahasiswa non-Muslim.
Di lembaga pendidikan Muhammadiyah, para siswa non-Muslim mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agamanya dan diampu oleh guru agama yang seagama.
Model pendidikan inklusif ini memiliki makna penting dalam membangun keeukunan antara umar beragama dan keberagamaan yang terbuka, ujar Abdul Muti.