Urusan Syubhat, Boleh Taklid kepada Ulama yang Paling Dipercayai
SYUBHAT yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya. "Oleh sebab itu, orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka dia harus melakukan hasil kesimpulan hukumnya," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah" (Robbani Press, 1996).
Menurutnya, dia tidak dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena khawatir mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia melakukan penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian untuk melakukannya.
"Apabila ijtihad yang mereka lakukan ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan satu pahala," ujarnya. Baca juga: Fitnah Syubhat, Merusakkan Ilmu dan Keyakinan
Menurut al-Qardhawi, barang siapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang lain, maka dia boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk tetap mengikutinya selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang dia ikuti. Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis Muttafaq 'Alaih: "Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak orang. Maka barang siapa yang menjauhi syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya, dan barang siapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di sana." (HR Bukhari dari Nu'man bin Basyir (52), (2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599) Orang yang bodoh diharuskan bertanya kepada orang yang pandai dan dapat dipercaya dalam perkara yang masih diragukan, sehingga dia mengetahui betul hakikat hukumnya. Allah SWT berfirman: "...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS an-Nahl: 43) Baca juga: Hadis Anjuran Bersikap Wara' dan Menjauhi Perkara Syubhat
Dalam sebuah hadis disebutkan: "Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu? Karena sesungguhnya kesembuhan orang yang tersesat adalah dengan bertanya." (HR Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami'as-Shaghir, 4362)]