Puluhan Anak Terkena Penyakit Ginjal, Pemerintah Diminta Lebih Ketat Awasi Makanan Olahan
JAKARTA - Penyakit Tidak Menular (PTM) semakin meningkat pada anak-anak. Hal itu tidak terlepas dari gaya hidup anak-anak saat ini yang sering mengonsumsi jajanan atau makanan dan minuman olahan secara berlebih.
Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah kasus PTM menyeruak. Salah satunya adalah gagal ginjal yang membuat 60 anak harus menjalani terapi penyakit gagal ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tak hanya itu, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga menunjukkan kasus diabetes anak terus meningkat. Tercatat, kasus diabetes tipe 1 pada anak meningkat 70 persen sejak 2010 hingga 2023.
Pengamat Kebijakan Publik, Muhammad Gumarang mengatakan kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan perlu ada aksi yang cepat untuk menanggapinya. Maka dari itu, ia meminta pemerintah menerbitkan regulasi yang ketat untuk mengatur dan mengawasi jajanan pada anak.
“Saya rasa perlu ada regulasi yang ketat untuk mengawasi jajanan ini. Sekarang ini tidak ada regulasi yang mengatur,” kata Gumarang, dikutip Jumat (18/10/2024).
Gumarang pun membandingkan tiadanya regulasi terhadap jajanan tersebut dengan ketatnya aturan yang mengatur susu pertumbuhan. Menurutnya, pemerintah terlalu berlebihan mengatur susu pertumbuhan melalui PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Padahal, menurut Gumarang, susu pertumbuhan lebih mengandung gizi yang dibutuhkan anak-anak. Namun, produk jajanan olahan yang kurang bergizi tidak diregulasi dengan baik oleh pemerintah.
“Padahal susu memiliki gizi yang bagus untuk pertumbuhan anak,” ucap Gumarang.
Senada dengan Gumarang, penerbitan regulasi terhadap jajanan juga didukung oleh dokter spesialis anak, dr. William Cheng, Sp.A yang menyebut perlu aturan yang dapat mengatur batas konsumsi pada anak. Salah satunya adalah regulasi label pada kemasan agar masyarakat dapat mengetahui seberapa besar kandungan gizi pada suatu produk tersebut.
Dia menyebut regulasi label pada kemasan sudah dilakukan di banyak negara. Hal itu dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dalam membuat regulasi serupa.
“Sebaiknya harus diregulasi juga (labeling produk), kita bicara di sini gula dan garam. Di negara lain ada label, ada grading, jadi orang sudah tahu. Sayangnya Indonesia belum,” tutur dr. William.