Cerita Penjaga Perbatasan Pulau Natuna,  Harus Sewa Perahu Nelayan untuk Menyisir Kapal Asing

Cerita Penjaga Perbatasan Pulau Natuna, Harus Sewa Perahu Nelayan untuk Menyisir Kapal Asing

Terkini | inews | Senin, 2 September 2024 - 06:46
share

NATUNA, iNews.id - Petugas penjaga perbatasan negara di Natuna kerap kali rindu keluarga. Hal itu kerap dirasakan Tedy Wibisono saat bertugas di Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas II Ranai, Natuna.

Pria asal Bandung, Jawa Barat itu harus rela meninggalkan anak dan istrinya demi tugas negara.

Sudah hampir lima tahun Tedy mengemban tugas sebagai penjaga perbatasan negara. Ia bertugas sebagai Kasi Lalu Lintas Izin Tinggal Keimigrasian di Kanim Ranai, Natuna. Selama itu pula ia harus jauh dari keluarga.

"Kalau ditanya Merah Putih atau enggak? Merah Putih sekali pak. NKRI harga matilah pokoknya di sini," ungkap Tedy ditemui di Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.

Petugas Imigrasi di Natuna memang mengemban tugas cukup berat dibanding daerah lainnya. Mereka harus menyisir puluhan pulau di wilayah Natuna. Kadang mereka bergantian untuk berjaga di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Pulau Serasan.

PLBN Serasan merupakan PLBN laut pertama di Indonesia. PLBN ini belum resmi beroperasi. Meski demikian, sudah ada petugas Imigrasi yang disiagakan. Jarak PLBN ini sangat jauh dari Ranai yang merupakan Ibu Kota Kepulauan Natuna.

"PLBN aja dari sini (Ranai) udah 10 jam, keluarga jauh, apalagi kalau udah denger anak sakit, pasti kita khawatir," tutur Tedy.

Sedikitnya, ada dua petugas Imigrasi yang selalu bergantian tugas selama 21 hari menjaga PLBN Serasan. PLBN Serasan sendiri dibangun karena dekat dengan laut China Selatan itu. Nelayan asing kerap melintas di perairan Pulau Serasan. Atas dasar itu, pemerintah kemudian membangun PLBN Serasan.

Bagi Tedy, tak terbesit sama sekali untuk memboyong keluarga kecilnya di Bandung ke Ranai. Sebab, belum banyak fasilitas yang memadai di Ranai. Ranai tak seperti kota besar. Ranai lebih tepat dikategorikan desa, jauh dari kata ramai.

Infrastruktur jalan di Ranai bisa dibilang sudah cukup bagus, tapi jarang kendaraan lalu lalang. Rumah sakit dan sekolah pun tak banyak ditemui. Banyak pendatang dan juga nelayan di Ranai. Sementara, daerah Pulau Natuna lainnya masih sepi.

"Karena memang di sini pendidikannya juga kurang memadai, kesehatannya pun sama, jadi kalau kita sakit pun harus dirujuk minimal ke Batam, nah Batam itu kan harus menempuh waktu dan biaya juga," ungkap Tedy.

Satu-satunya obat pelepas rindu Tedy dengan keluarga hanya lewat video call. Untungnya, sinyal beberapa provider di Ranai cukup bagus. Tedy masih bisa berkomunikasi dengan keluarga meski hanya lewat telepon genggam.

"Kecuali kalau ada yang urgent sekali, keluarga sakit, kita enggak bisa setiap saat pulang, karena kan pesawat aja sehari sekali dan itu pun kadang full, kita harus cari hari berikutnya. Apalagi kalau kita ditugaskan di PLBN," beber dia.

Tedy juga tak sungkan menceritakan penghasilannya sebagai PNS Ditjen Imigrasi Kemenkumham di daerah perbatasan. Tunjangan petugas Imigrasi berbeda dengan TNI dan Polri di daerah perbatasan.

Sebagai PNS Ditjen Imigrasi di daerah perbatasan, Tedy mengaku hanya mendapat remunisasi. Berbeda dengan anggota TNI-Polri yang mendapat tunjangan lainnya ketika bertugas di Natuna.

"Kita tidak seperti TNI yang mendapat uang lauk-pauk, uang tunjangan kemahalan, nah kalau kita sampai detik ini, sampai sekarang belum ada. Mudah-mudahan nanti pemerintah memperhatikan juga selain dari TNI-Polri, karena kita petugas juga," ucapnya.

Hal yang sama juga dirasakan Kasi Teknologi Informasi Keimigrasian Kanim Ranai, Tito Teguh Raharjo. Bagi Tito, hal yang paling berat ketika bertugas di Natuna hanya satu, yaitu meninggalkan keluarga. Ia mengaku kerap tak bisa berbuat apa-apa ketika keluarganya sakit.

"Kita jauh dari keluarga, rasa rindu itu dengan keluarga dengan anak dan istri itu pasti ada, di saat sakit juga kita enggak bisa melihat mereka, mau pulang pun terkendala dengan pekerjaan juga," kata Tito saat berbincang.

Tugas Imigrasi di wilayah perbatasan memang tak sedikit. Salah satu tugas mereka yakni melakukan clearence atau pengecekan dokumen perizinan bagi orang asing di wilayah Natuna.

Punggawa Imigrasi Ranai harus menyisir kapal-kapal asing yang berada di Kepulauan Natuna. Terutama soal dokumen orang asing yang ada di kapal tersebut. Apalagi, Imigrasi belum memiliki kapal ataupun perahu untuk menyisir ke kapal-kapal asing.

Beberapa hari lalu, petugas Imigrasi Ranai melakukan clearence kapal asing asal Hong Kong. Kapal tersebut terparkir di wilayah perairan Pulau Sedanau. Pulau Sedanau masuk wilayah Natuna. Dari Ranai, butuh waktu sekira dua jam untuk mencapai Pulau Sedanau. Itupun kalau cuaca bersahabat.

Para petugas Imigrasi harus menempuh perjalanan darat terlebih dahulu dari Ranai menuju Pelabuhan Seminte. Pelabuhan Seminte merupakan titik terdekat untuk menuju Pulau Sedanau. Perkiraan waktunya 1,5 jam dari Ranai ke Pelabuhan Seminte.

Pelabuhan Seminte merupakan tempat transit perahu kecil. Pelabuhan ini sangat kecil, hanya ada jembatan kayu dan rumah singgah tempat untuk naik turun nelayan.

Dari Pelabuhan Seminte, para petugas Imigrasi harus menyewa perahu nelayan untuk bisa tiba di Dermaga Pelabuhan Sedanau. Pelabuhan Sedanau jauh lebih besar dan lengkap ketimbang Seminte. Waktu tempuh dari Pelabuhan Seminte ke Sedanau menggunakan perahu kecil sekira 45 menit.

Butuh usaha lebih bagi para petugas Imigrasi untuk melakukan tugasnya mengawasi orang-orang asing yang masuk ke perairan Natuna. Untuk mencapai satu pulau saja, para petugas bisa menghabiskan waktu seharian. Belum lagi dengan kendala cuaca dan pasang surut air laut.

Topik Menarik