Lewat HOPE, Regina Safri Suarakan yang Tidak Bisa Bersuara

Lewat HOPE, Regina Safri Suarakan yang Tidak Bisa Bersuara

Terkini | medan.inews.id | Sabtu, 8 Juni 2024 - 19:30
share

MEDAN, iNewsMedan.id - Siapa sangka tahun ini ia berhasil menerbitkan buku ketujuh. Buku foto berjudul HOPE ini merupakan buku ketiganya tentang konservasi. Buku Foto bertema konservasi pertamanya berjudul Orangutan terbit pada pada 2012, lalu buku kedua diberi judul Before Too Late terbit pada tahun 2019.

Sang penulis buku ini adalah Regina Septiarini Safri. Perempuan yang pernah berkarir sebagai fotografer Kantor Berita Antara yang sudah belasan tahun malang melintang di dunia jurnalistik.

Kalau ditanya yang paling berkesan tentu buku Orangutan karena itu buku yang pertama, tapi kalau ditanya mana favorit aku, ya buku terbaru ini HOPE karena dari awal pengerjaannya, kurasinya, aku terlibat semuanya dari awal, dan karena sudah dapat pengalaman dari buku sebelumnya, aku jadi lebih matang mempersiapkan dan mengerjakan buku ini, ujar Regina saat Ngobrol Buku HOPE di Ruang Teather Kampus FISIP USU, Selasa (5/6/2024).

Untuk memperkenalkan HOPE, Regina melakukan roadshow ke-17 kota di Indonesia dan Medan merupakan kota keenam. Di Medan, perkenalan HOPE diselenggarakan oleh Voice Of Forest bekerja sama dengan Pers Mahasiswa Pijar dan Prodi Ilmu Komunikasi FISIP USU. Acara yang dikemas dalam Conservatalk III ini dihadiri lebih dari 100 orang dari kalangan pers mahasiswa, pegiat lingkungan, jurnalis dan akademisi.

Menurut Perempuan yang akrab disapa Rere ini, HOPE menceritakan tentang pengalamannya saat melakukan riset studi magisternya terkait konflik satwa dengan manusia. Diluncurkan untuk memberikan kesadaran kepada seluruh kalangan masyarakat, mengenai pentingnya menjaga hutan. Karena hutan, satwa, dan semua isinya itu tidak bisa menyuarakan apa yang mereka inginkan, sehingga soal kelestarian hutan sudah jadi kewajiban manusia untuk menyuarakannya.

Buku ini saya terbitkan untuk seluruh penikmat hutan. Jadi kalau ditanya Apakah ini hanya untuk Gen Z saja? Sebenarnya tidak. Tetapi, saya menggunakan medium yang gampang dipahami orang banyak. Karena saya ingin semua yang merasakan kenikmatan hutan,
memiliki tanggung jawab atas segala hal yang terjadi di hutan, ungkapnya.

Lulusan Magister Ilmu Lingkungan UI ini berharap HOPE dapat menjadi sarana pemberi informasi, juga mendistraksi orang untuk gelisah setelah mengetahui keadaan hutan saat ini seperti apa. Khususnya pada hutan dan spesies satwa yang dilindungi.

Saya berharap buku, foto, dan media ini dapat menjadi medium campaign untuk menyebarluaskan informasi terkait konservasi dan isu-isu lingkungan khususnya pada hutan dan satwa yang dilindungi, ungkapnya.

HOPE juga banyak menyinggung tentang bagaimana ancaman perdagangan terhadap eksistensi satwa liar. Saat ini, perdagangan satwa liar dilindungi menempati posisi keempat setelah perdagangan narkoba, perdagangan senjata, perdagangan orang menurut Wildlife Justice Commission.

HOPE menjadi harapan kepada kita semua, bagaimana membantu upaya perlindungan terhadap satwa yang terancam punah. Kita sebagai anak muda harus terlibat dalam upaya menjaga alam tetap lestari, imbuhnya.

Fotografer senior Binsar Bakkara dihadirkan sebagai pembedah buku HOPE. Fotografer Associated Press (AP) ini menilai, HOPE menjadi oase kampanye isu lingkungan di tengah minimnya kesadaran publik.

Ini menjadi cara segar dalam menyajikan isu lingkungan dengan sederhana. Selama ini ada ungkapan bahwa isu lingkungan sulit dipahami. Tapi di dalam HOPE, kita bisa memahami
lebih mudah, kata Binsar.

Direktur Voice of Forest Mirza Baihaqi dalam paparannya menjelaskan, perdagangan satwa menjadi ancaman serius yang menyasar ekosistem di Sumatra Utara dan Aceh. Dalam monitoring media yang dilakukan VoF, perdagangan satwa liar dilindungi masih terjadi secara masif.

Sepanjang 2022 dan 2023, Voice of Forest (Yayasan Suara Hutan Indonesia) mencatat ada 26 kasus perdagangan satwa liar dilindungi yang terjadi di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Dengan rincian, di Aceh terjadi 13 kasus perdagangan satwa liar dilindungi pada tahun 2022 dan 7 kasus pada 2023. Sedangkan di Sumut 12 kasus perdagangan satwa liar dilindungi pada tahun 2022 dan 5 kasus pada 2023.

Dari jumlah tersebut, penegak hukum menetapkan total 53 orang sebagai tersangka kasus perdagangan satwa liar dilindungi.

Jika kita lihat dua tahun terakhir angka kasus dan jumlah pelaku menurun. Namun kami meyakini bahwa angka kasusnya lebih tinggi dari yang dilakukan penindakan atau pun yang terpublikasi. Kami masih melihat sejumlah kasus yang tidak terungkap, Mirza.

Sementara itu, Wakil Dekan I FISIP USU Husni Thamrin, S. Sos, M. SP mengapresiasi rangkaian kegiatan yang digelar VoF. Acara ini, kata dia, menjadi pemicu bagaimana FISIP USU sebagai kalangan akademis bisa terlihat dalam upaya konservasi.

Kampus memiliki tanggung jawab akademis dalam upaya menjaga lingkungan. Kami mendorong mahasiswa bisa terlibat dalam upaya-upaya konservasi. Tentunya dengan perspektif masing-masing keilmuannya, kata Husni.

Husni pun berharap kerjasama antara NGO dengan FISIP USU bisa digeber. Berbagai diskusi tentang konservasi bisa rutin digelar sebagai perspektif baru bagi mahasiswa.

Harapannya buku ini bisa menginspirasi mahasiswa FISIP USU, supaya bisa membuat karya yang bisa berdampak baik bagi orang banyak. FISIP USU sangat senang bisa mendukung kegiatan positif seperti ini, pungkasnya.

Topik Menarik