Drama Hukum di PN Mojokerto, Pengacara Ungkap Kejanggalan Putusan Kasus Dugaan Penggelapan
MOJOKERTO, iNewsSurabaya.id - Kasus dugaan penggelapan senilai Rp12 miliar yang melibatkan Herman Budiyono terus menjadi sorotan di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. Dalam perkembangan terbaru, penasihat hukum Herman, Michael SH MH CLA, CTL, CCL, dengan tegas mengajukan banding atas vonis tiga tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim pada Senin (16/12/2024). Ia menuding putusan tersebut mengabaikan fakta-fakta krusial yang terungkap selama persidangan.
Michael memaparkan sejumlah fakta yang, menurutnya, tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Salah satu poin utama adalah aliran dana yang dituduhkan sebagai bentuk penggelapan, ternyata mengalir ke pelapor sendiri, Juliati Sutjhajo, yang merupakan kakak kedua terdakwa. Berdasarkan bukti transfer, Herman mengirim Rp1,44 miliar ke rekening Juliati pada 26 Mei 2023 melalui Bank BCA.
Pamen Polri Dilaporkan Warga Banyuasin, Soal Dugaan Penipuan Janjikan Lulus Tes Bintara Polri
Selain itu, Herman juga mentransfer Rp5 miliar kepada kakak pertamanya, Hadi Poernomo, pada 2 Agustus 2022, serta USD26.040,71 pada 25 Januari 2023. Bahkan, kakak ketiga terdakwa, Lidyawati, memiliki utang hingga miliaran rupiah kepada perusahaan Herman. “Lidyawati memiliki utang di Kartika Motor sebesar Rp878,48 juta, dan di CV Mekar Makmur Abadi (MMA) sebesar Rp5,17 miliar,” ujar Michael.
Michael menegaskan bahwa aliran dana ke pihak-pihak tersebut menunjukkan perkara ini bukanlah penggelapan, melainkan masalah perdata terkait sengketa warisan. Namun, majelis hakim beranggapan aliran dana tersebut tidak relevan dengan perkara. “Hakim seharusnya cermat menelusuri tujuan dan alasan perpindahan dana tersebut. Bukti ini jelas menunjukkan kejanggalan,” tegas Michael.
Michael juga mempertanyakan dasar pertimbangan hakim yang menyebut adanya audit dalam kasus ini. “Ahli auditor yang dihadirkan dalam persidangan secara jelas menyatakan tidak melakukan audit karena belum ada kontrak dengan penyidik. Lalu, dari mana hakim menyimpulkan adanya audit?” tanyanya.
Dalam persidangan, ahli pidana yang dihadirkan menyebutkan bahwa kasus ini lebih layak dikategorikan sebagai perkara perdata. “Jika hanya ada perpindahan uang, itu tidak serta merta menjadi tindak pidana. Tapi hakim justru menyatakan klien kami melakukan perbuatan melawan hukum. Ini keliru,” lanjut Michael.
Selain itu, Michael menyoroti tidak adanya bukti kuat yang menunjukkan mens rea (niat jahat) dalam kasus ini. Ia mengingatkan bahwa untuk memenuhi unsur tindak pidana, harus ada mens rea dan actus reus (tindakan fisik). “Perkara ini murni perdata. Kami berharap Pengadilan Tinggi dapat melihat hal ini secara objektif dan membebaskan Herman,” pungkasnya.
Sebelumnya, pada 16 Desember 2024, majelis hakim PN Mojokerto yang diketuai Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja memvonis Herman dengan hukuman tiga tahun penjara. Herman dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 374 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) tentang Penggelapan dengan Pemberatan.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi sistem peradilan. Apakah fakta baru yang diungkapkan dalam banding akan mengubah arah perkara ini? Semua mata kini tertuju pada Pengadilan Tinggi.