Petani Nelayan Terlempar dari Lahannya oleh Pinokio Sudah Biasa
Ahmad SihabudinDosen Komunikasi Lintas Budaya Fisip Untirta
"Komunikasi yang jujur dibangun di atas kebenaran dan integritas dan atas rasa hormat satu sama lain." - Benjamin E. Mays
SATU, dua bulan terakhir ini, ramai dan gaduh sekali perihal kepemilikan pagar laut yang membentang di pesisir Tangerang sepanjang 30 km, semuanya dalam pemberitaan mengaku tidak tahu menahu siapa pemiliknya.
Masa sih tidak ada yang tahu? Padahal organisasi negara kita sangat lengkap mulai dari lembaga Kepresidenan sampai dengan lembaga RT, di suatu desa.
Perangkat kenegaraan kita sangat lengkap apalagi wilayah Jabodetabek, yang hanya ”satu kayuhan sepeda” dari pusat Pemerintahan NKRI.
Jadi menurut saya, ini ”kebohongan” yang dipertontonkan kepada publik. Apalagi di atas lembaga RT, RW ada aparatur Desa, Camat, Bupati. Organisasi Vertikal lainnya ada Polisi Resort, Sektor Kepolisian, Komando Distrik Militer, Rayon Militer (Koramil).
Dalam organisasi Pemerintahan apakah Provinsi atau Kabupaten-Kota ada perangkat daerah yang menangani beberapa bidang kerjaseperti Dinas PUPR, Pertanian dan Ketahanan pangan, Perizinan dan lain-lain. Lalu apa kerja mereka kalau semua ditanya, malah saling lempar alias yang paling aman mengatakan tidak tahu.
Jadi lucu menurut saya, ”kemana aje” aparatur ini semua baik sipil, maupun militernya sudah berbulan-bulan, laut kita dipagari kok pada diam saja.
Padahal kami bila akan mengadakan keramaian misalnya ”hajatan” menggunakan sedikit badan jalan untuk 1-2 hari kita harus izin karena itu area ruang publik.
Nah ini laut di pagar sepanjang 30 km dan sudah berbulan-bulan, kok jawabnya pada tidak tahu, ini namanya ”berbohong”. Mempertontonkan kebohongan pada dunia.
Jangan-jangan lautan kita juga sudah banyak yang dipagar (nggak bolehseUzon), semoga ini hanya terjadi di Tangerang.
Menyimak ”drama laut di pagar” pemberitaan, mungkin sebagian masyarakat termasuk penulis, kecewa (pemerintah) negara lama bertindak pada kasus tersebut, terkesan membela pemagar laut.
Padahal sebelumnya juga banyak pemberitaan di media sosial soal tanah milik masyarakat yang ”dipaksa” untuk dijual dengan berbagai dalih untuk pembangunan sebuah proyek.
Bila memperhatikan ”drama pemberitaan” jadi teringat tokoh dongeng Petualangan Pinokio, apakah aparatur kita sudah jadi ”pinokio” semuanya. Pinokio adalah tokoh sentral dalam cerita Petualangan Pinokio karangan Carlo Collodi dari Italia pada 7 Juli 1881.
Pinokio adalah sebuah boneka kayu yang hidungnya akan memanjang jika sedang berbohong. Hidung Pinokio tidak jadi panjang lagi, jika berbicara jujur.
Seorang penyair dan pengarang dongeng dari Yunani, Claudius Aesopus (620-564 SM), pernah mengatakan, ”Seorang pembohong tidak akan dipercaya bahkan ketika ia berbicara tentang kebenaran.”
Di zaman yang lain, Robert Green Ingersoll, pengacara dan politikus dari AS (1833-1899), mengatakan hal yang hampir sama dengan rumusan yang lain, ”Sebuah kebohongan tidak akan cocok dengan apa pun, kecuali dengan kebohongan lainnya.”
Friedrich Nietzsche (1844-1900), ilmuwan dan filsuf asal Jerman yang hidup sezaman dengan Robert Green Ingersoll, juga berbicara soal kebohongan. ”Saya tidak sedih kalau Anda telah membohongi saya, tetapi saya justru sedih karena sejak saat itu saya tidak bisa percaya lagi kepada Anda.”
Namun, petinggi Partai Nazi yang juga tangan kanan Adolf Hitler, Paul Joseph Goebbels (1897-1945), tidak peduli dengan omongan Nietzche itu walau sama-sama orang Jerman. Goebbels bahkan mengatakan, ”Kebohongan yang diucapkan terus-menerus niscaya akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran.”
Kebohongan, pemutarbalikan fakta, berita-berita hoaks, dan semacamnya menimbulkan dampak buruk di masyarakat, misalnya memunculkan sifat saling membenci, tidak percaya, dan kesombongan. Apalagi masalah kepentingan publik, dan kewibawaan negara sudah direndahkan, tidak dianggap lagi.
Berlarut-larutnya penanganan pemagaran laut ini, menimbulkan berbagai spekulasi dan ketidaknyamanan di masyarakat, khususnya masyarakat pesisir kabupaten Tangerang yang menggantungkan hidupnya pada laut, tambak, sungai dan persawahan.
Akankah masyarakat pesisir Tangerang akan terlempar juga dari habitatnya, seperti digambarkan Cliffoord Geertz, dalam penelitiannya di Mojokuto.
Petani terlempar dari lahan persawahan bukan merupakan gejala baru di Indonesia. Penelitian Cliffoord Geertz di Mojokuto menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya sudah terjadi sejak zaman kolonial, sekitar abad 19 (Geertz, 1964).
Dalam beberapa dekade terakhir gejala yang sama muncul akibat dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah.
Kasus-kasus seperti digambarkan Geertz, seperti yang terjadi di pantai Utara Tangerang pengambil alihan lahan dengan atas nama pembangunan ditambah dengan lebel proyek strategis nasional (PSN) sejak masa lalu sudah kerap terjadi.
Menurut (Hart, 1986) dalam Sobari (2003), penetrasi kekuasaan dari tingkat pusat ke desa-desa diperkuat dengan memperkenlkan institusi politik maupun administratif, untuk mengatur apa yang ”direstui” pusat.
Campur tangan yang besar itu juga berarti pelaksanaan kontrol secara ketat, agar rakyat tidak berbuat macam-macam yang bisa mengoyak stabilitas.
Hart (1986) menggambarkan sejak akhir 1960-an kelompok elit pedesaan yang selalu diuntungkan oleh situasi telah berfungsi sebagai klien negara.
Dalam proses demikian, dengan mudah rakyat dibuat terasing dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan politik penting, menentukan merah hijaunya nasib mereka.
Penempatan posisi pemerintah sebagai ”bapak”, dan masyarakat sebagai ”anak” tidak menunjukkan makna kasih sebagaimana seharusnya.
Melainkan untuk melestarikan sikap paternalistik yang menguntungkan kelas dominan. Hal ini bukan mengandung konotasi, bila dilihat dari tingkah laku para pejabat, rakyat itu bodoh dan pemerintah lebih pintar. Akibatnya, kepentingan rakyat tidak selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan untung ruginya suatu kebijakan nasional yang diambil.
Manfaat suatu kebijakan yang tidak jatuh ke tangan rakyat sering tidak menjadi soal, (Sobari, 2003). Dalam masa Orde Baru, kelompok miskin pedesaan, terbukti dari berbagai penelitian, menjadi semakin sulit.
Mereka menjadi kelompok tersingkir di desa mereka sendiri, dan kemudian bermigrasi ke kota-kota untuk memperoleh lowongan ekonomi (Collier, 1974,1981, 1982; Hayami dan Hafid, 1979; Hugo, 1984; Sobari, 1986; Sayogyo 1977).
Perluasan kota-kota besar dan kebijakan menggalakan industrialisasi bisa juga menimbulkan implikasi lebih seriusbagi petani. Secara khusus bisa dikemukakan misalnya betapa kuat cengkeraman Jakarta atas daerah-daerah pinggiran di sekitarnya, begitu pusat industri terpenting ini dianggap ”penuh” pada tahun 1970-an (Mather, 1982).
Upaya perluasan kota terus berlangsung dan sejak tahun 1970-an kita mengenal kawasan baru yang disebut Jabotabek, sekarang bertambah menjadi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi). Daerah daerah pinggiran ini kemudian terserap, baik fisik maupun kultural oleh dan ke dalam kehidupan Jakarta.
Harapannya perluasan kota-kota dimanapun untuk tetap memperhatikan ”habitat” yang berisi di dalamnya masyarakat dengan segala tradisi dan budaya mereka. Di era kepemimpinan Presiden Prabowo benar-benar memperhatikan hakikat transformasi masyarakat yang wilayahnya terdampak perluasan atau kebijakan nasional.
Bapak Presiden sebagai insan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), dapat menempatkan petani nelayan sebagai sokoguru perekonomian kita, menjadi garda terdepan dalam ketahanan pangan nasional kita, semoga kasus-kasus seperti ”PIK 2” tidak terjadi di daerah lain, cukup di Tangerang saja. Semoga!