Ahli Hukum Kritisi 2 Pasal RUU KUHAP Jadi Ancaman Persoalan Kewenangan Jaksa-Polisi
Ahli Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prija Djatmika mengkritisi dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dia menilai kedua pasal itu bisa menimbulkan persoalan baru antara kepolisian dan kejaksaan.
Adapun dua pasal yang dimaksud adalah Pasal 111 Ayat 2 dan Pasal 12 Ayat 11. Prija menuturkan, jaksa dalam Pasal 111 Ayat (2) RUU KUHAP saat ini diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian.
Menurut dia, seharusnya pasal tersebut mutlak kewenangan dari kepolisian. Dia melanjutkan, jika hal ini tetap diterapkan, dikhawatirkan bakal menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu.
“Yang benar yang boleh mengontrol hanya hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan. Jadi ini Pasal 111 ini mending dihapuskan saja, yang ayat 2," kata Prija dikutip Kamis (23/1/2025).
Sedangkan, Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, bisa menindaklanjuti ke kejaksaan. Prija menganggap, pasal semacam ini merupakan suatu kemunduran yang sebelumnya, saat era Hindia Belanda hingga Orde Baru, sudah pernah diterapkan tetapi kemudian dihapus.
“Ini memberi peluang jaksa untuk kembali sebagai penyidik, ini merusak tatanan distribusi kewenangan yang sudah diatur bagus dalam KUHAP, jadi ini langkah mundur. Seharusnya, seperti saat ini, jaksa hanya bisa (menyidik) pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi,” tuturnya.
Dosen Fakultas Hukum UB itu mengatakan, jaksa tidak berhak menerima laporan masyarakat, kemudian melakukan pemeriksaan dan penuntutannya secara mandiri. “Ini akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, jadi penyidik (jaksa) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik. Kecuali, memang perkara tindak pidana khusus karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat itu extraordinary crime, kejahatan luar biasa," imbuhnya.
Dia pun mengusulkan agar RUU KUHAP yang baru ini menempatkan jaksa wilayah berkantor di kantor kepolisian. Hal ini seperti yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni adanya penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum yang bekerja satu atap.
Hal tersebut juga dinilai perlu demi efektivitas kinerja penanganan suatu perkara hukum, sehingga diharapkan meminimalisasi terjadinya pengembalian berkas perkara yang bolak-balik dari polisi ke jaksa. Selain itu, diharapkan suatu perkara hukum ketika masuk pengadilan, sudah disertai dengan bukti yang kuat.
"Tetapi, pada saat penyidikan, tetap tugasnya polisi, jaksa bukan koordinasi saja, tapi sinergi dalam rangka collecting evidence atau pengumpulan barang bukti, jaksa dilibatkan setelah penyidikan," pungkasnya.