Nominasi OCCRP dan Beban Berat Presiden Prabowo

Nominasi OCCRP dan Beban Berat Presiden Prabowo

Nasional | sindonews | Kamis, 23 Januari 2025 - 07:21
share

Arjuna Putra AldinoKetua Umum DPP GMNI

ORGANIZED Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) adalah lembaga independen jaringan jurnalis investigasi global khusus kejahatan terorganisir dan korupsi.

Setiap tahunnya organisasi yang didanai oleh United Nations Democracy Fund (UNDEF) Dana Demokrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan nominasi "Person of the Year” kepada mereka tokoh yang dianggap melakukan kejahatan terorganisir dan korupsi.

Belakangan nominasi lembaga ini menjadi perbincangan akibat memasukkan nama Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu tokoh terkorup tahun 2024.

Masuknya nama Jokowi karena dinilai banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), memanipulasi pemilihan umum, menjarah sumber daya alam, hingga pada akhirnya menciptakan konflik akibat ketidakstabilan. Penilaian ini bersumber dari penominasian masyarakat sipil dan jurnalis.

Dalam rekam jejaknya, OCCRP banyak mengungkap kasus korupsi besar dan mengesankan. Misalnya, investigasi mereka terhadap kasus Russian Laundromat, yang mengungkap skema pencucian uang senilai lebih dari 20 miliar dolar AS melalui bank-bank di Eropa. Investigasi lainnya, Azerbaijani Laundromat, menunjukkan bagaimana elit Azerbaijan menggunakan skema pencucian uang untuk menyuap pejabat asing.

Tentu, nominasi OCCRP ini punya pengaruh yang sangat luas mengingat OCCRP sendiri memiliki 70 anggota media investigasi dan 50 mitra, termasuk The New York Times, The Guardian, Der Spiegel, dan Le Monde.

Apalagi OCCRP didukung oleh sejumlah nama-nama besar dalam konteks ekonomi global seperti The European Union, Ford Foundation, Rockefeller Brothers Fund, Open Society Foundations, Swedish International Development Cooperation Agency, United Kingdom Foreign, Commonwealth & Development Office, Ministry for Europe and Foreign Affairs of France, U.S. Department of State hingga National Endowment for Democracy.

Artinya nominasi ini sangat berpengaruh pada citra Indonesia di mata internasional, terutama menggerus kepercayaan investor global terhadap ekonomi Indonesia.

State Capture Corruption dan Investasi

Definisi korupsi yang menjadi fokus OCCRP bukanlah semata-mata korupsi yang dikenal luas yang dalam pengertiannya sebuah tindakan korupsi yang melibatkan pejabat administrasi publik layaknya suap yang dilakukan kepada petugas penegak hukum, petugas bea cukai, penyedia layanan kesehatan, dan pejabat pemerintah lainnya.

Namun, sebuah “State Capture Corruption” yakni sebuah upaya individu dan perusahaan untuk membentuk aturan hukum, kebijakan, dan peraturan negara demi keuntungan mereka sendiri dengan memberikan keuntungan pribadi yang tidak sah kepada pejabat publik.

Kata kuncinya bertolak pada “pengaruh kekuasaan” sebagai hasil dari perselingkuhan antara bisnis dan politik kekuasaan yang kemudian menentukan apakah korupsi diarahkan untuk mendistorsi implementasi hukum atau untuk membentuk aturan hukum itu sendiri yang menguntungkan segelintir orang.

Artinya, korupsi disini bukan lagi dilakukan dengan melanggar aturan hukum yang berlaku (illegal) melainkan justru korupsi “dilegitimasi” oleh aturan hukum dan kebijakan yang berlaku secara sah (legal). Bisa dikatakan dalam state capture corruption, korupsi justru dilakukan dengan cara mempengaruhi “rule of the game”.

Dalam perkembangannya, state capture corruption ini menciptakan sebuah model “predatory state” (negara pemangsa) dimana pemerintah suatu negara mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan segelintir elit dan pengusaha melalui kekuasaan mereka untuk mengendalikan pasar dan membangun jaringan patronase dengan elit bisnis dan para taipan.

Secara politik, model predatory state ini menurut Mihályi dan Szelényi (2019) menciptakan tiga bentuk praktik perburuan rente yang sistemik.

Pertama, market capture by political elites dimana elit politik menggunakan sumber daya negara untuk mengambil alih properti publik atau mengamankan posisi istimewa mereka dalam kehidupan ekonomi.

Kedua, state capture by oligarchs, negara diambil alih oleh kelompok kepentingan yang kemudian mereka memiliki pengaruh dan kontrol terhadap perumusan kebijakan dan proses legislasi.

Ketiga, the capture of oligarchs by autocratic rulers, situasi dimana elit ekonomi menjadi sangat bergantung pada orang-orang yang menjalankan kekuasaan politik.

Secara ekonomi, model state capture corruption menjadi landasan bagi berkembangnya entitas “crony capitalism”, sebuah gambaran situasi dimana bisnis mendapat untung dari hasil hubungan dekat dengan kekuasaan negara, baik melalui pembentukan lingkungan peraturan anti-persaingan dan atau korupsi.

Dengan kata lain, kekuatan bisnis berkembang bukan sebagai hasil dari kompetisi bebas, melainkan akibat kolusi antara elit bisnis dan elit politik. Dan menurut Crony Capitalism Index yang dipublikasikan oleh the Economist menunjukan Indonesia menempati peringkat ke-7 dunia.

Hal ini menandakan hampir 4 persen kekayaan orang-orang terkaya Indonesia masuk kategori kroni. Dengan kata lain, sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa.

Dampak dari berkembangnya crony capitalism yakni terciptanya ekonomi biaya tinggi dan distorsi atas mekanisme pasar bebas. Hal ini tecermin dari indikator Incremental Capital to Output Ratio (ICOR) Indonesia yang membengkak.

Pada 2016-2022, ICOR Indonesia berada pada level 7,4. ICOR adalah salah satu parameter untuk mengukur tingkat efisiensi investasi di suatu negara.

Semakin tinggi nilai ICOR-nya, semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi. Selain itu, para kroni pada umumnya bersandar pada fasilitas dan konsesi dari penguasa. Sehingga menciptakan persaingan yang tak sehat dan bertentangan dengan prinsip laissez faire dimana pasar bisa mengoreksi dirinya sendiri dengan mekanisme persaingan bebas yang alamiah.

Maka tak terjadi apa yang disebut oleh Adam Smith yang dalam The Theory of Moral Sentiments disebut sebagai “invisible hand”.

Samuel Huntington menyebut korupsi sebagai “sand the wheels”, yang mengakibatkan high transaction cost sehingga menurunkan produktivitas. Terbukti, Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2017-2018 menunjukkan, korupsi merupakan hambatan tertinggi untuk investasi dan berbisnis di Indonesia dengan skor 13,8.

Studi empiris Paolo Mauro seorang direktur economic and market research, International Finance Corporation menyebutkan semakin tinggi tingkat korupsi suatu negara maka semakin sedikit foreign direct invesment yang masuk ke negara tersebut.

Maka jelas, nominasi OCCRP sangat berpotensi menggerus kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Bagi investor, state capture corruption jelas dapat memunculkan persaingan tidak sehat, distribusi ekonomi yang tidak merata, tingginya biaya ekonomi, memunculkan ekonomi bayangan, menciptakan ketidakpastian hukum, dan tidak efisiennya alokasi sumber daya.

Beban Berat Presiden Prabowo

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengawali langkahnya dengan beban warisan yang cukup mengkhawatirkan. Defisit RAPBN 2025 berkisar 2,45-2,82 persen terhadap PDB. Rentang atas hampir mendekati batas maksimal 3 persen.

Artinya, defisit APBN 2025 berisiko membengkak dari target Rp 616,2 triliun. Di lain sisi, sekitar 37,58 atau sekitar Rp1.350 triliun anggaran belanja dalam APBN 2025 akan digunakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membayar utang-utang peninggalan pemerintahan Presiden Jokowi.

Total anggaran belanja negara yang didesain pemerintah saat ini dan telah disepakati bersama DPR sebesar Rp3.621,3 triliun, sedangkan Rp 1.353,2 triliun untuk membayar utang dalam bentuk cicilan pokok Rp800,3 triliun, dan bunga Rp552,9 triliun.

Bahkan jika ditambah untuk membayar bunga dari utang dalam negeri Rp497,6 triliun, dan utang luar negeri Rp55,2 triliun maka hampir 50 total pendapatan negara yang dirancang dalam APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun habis untuk membayar utang-utang peninggalan pemerintah sebelumnya.

Berdasarkan data General Government Gross Debt dalam Laporan IMF, utang Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 40,7 PDB. Walaupun rasio utang terhadap PDB masih jauh di bawah batas aman yakni 60 sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Namun, kondisi ekonomi akhir-akhir ini tidak sedang baik-baik saja, dan hal ini dapat digambarkan dengan sejumlah indikator. Salah satunya adalah penurunan proporsi kelas menengah dari 23 pada 2018 menjadi 18 pada 2023.

Jika melirik data kelompok kelas atas, proporsinya cenderung stabil pada 0,4 dari total populasi. Artinya Indonesia tidak terjadi kondisi yang dialami rata-rata negara di Eropa, yakni proporsi kelas menengahnya berkurang karena naik tingkat menjadi penduduk kaya. Sebaliknya, penduduk kelas menengah Indonesia ini turun tingkat menjadi kelas ekonomi rentan, bahkan miskin.

Padahal kelas menengah penting untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara, berkontribusi signifikan pada Produk Domestik Bruto dan penerimaan pajak.

Namun, kontribusi konsumsi kelas menengah untuk ekonomi nasional menurun dari 41,9 pada 2018 menjadi 36,8 pada 2023. Dalam laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI menyebutkan kontribusi pajak kelas menengah mencapai 50,7 dari total penerimaan pajak, antara lain pajak penghasilan, properti, dan kendaraan bermotor.

Akan tetapi, dengan adanya penurunan daya beli maka pertumbuhan ekonomi berpotensi akan melambat yang bukan hanya mengancam pendapatan negara namun ekonomi nasional secara keseluruhan.

Sulit untuk dibayangkan bahwa dampak krisis ekonomi ini tidak akan berujung pada krisis mata uang maupun krisis politik dalam negeri.

Walaupun situasi ekonomi bukan menjadi faktor determinan, namun situasi ekonomi berperan “mengondisikan” faktor-faktor yang lain seperti sosial-politik hingga psikologis masyarakat yang berperan secara resiprokal (timbal-balik) terhadap situasi ekonomi itu sendiri.

Artinya, situasi politik pada gilirannya ikut mempengaruhi suatu perubahan sosial, yang sebelumnya didahului oleh prakondisi situasi ekonomi yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan atas tatanan yang ada.

Jonathan Richard Hill mencontohkan bagaimana situasi ekonomi yang memburuk di Eropa seperti Jerman, Italia dan Perancis pada pertengahan 1848 menjadi prakondisi “kecemasan sosial kelas menengah” yang kemudian meningkatkan turbulensi politik hingga mengakibatkan jatuhnya rezim pemerintahan.

Studi World Bank dalam Middle East and North Africa (MENA) Economic Monitor: Inequality, Uprisings, and Conflict in the Arab World juga mengatakan hal yang kurang lebih sama bahwa rasa frustasi kelas menengah akibat situasi ekonomi yang terus terpuruk di Syria, Libya, Tunisia, Mesir, and Yaman meningkatkan eskalasi politik yang melahirkan gerakan Arab Spring.

Studi terbaru dari Albert Hirschman, seorang ekonom Jerman-Amerika tentang “Chilean Paradox” mengungkapkan gerakan politik yang melahirkan jatuhnya pemerintahan di Chili akibat dari terjepitnya lapisan sosial kelas menengah yang melahirkan kekecewaan sosial dan ketidakpuasan.

Begitu juga dengan apa yang terjadi di Bangladesh, jatuhnya rezim pemerintahan Sheikh Hasina akibat situasi ekonomi yang memburuk ditambah dengan ketidakpuasan rakyat dengan despotisme rezim yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Bukan hal yang tidak mungkin peristiwa “kecemasan kelas menengah” yang melahirkan krisis politik dan berujung pada pergantian kekuasaan juga akan terjadi di Indonesia.

Untuk itu, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menghindari gejolak sosial politik akibat situasi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja.

Pertama, Presiden Prabowo harus memperbaiki citra atau persepsi dunia internasional pasca masuknya nama Presiden Jokowi sebagai pemimpin terkorup versi OCCRP. Hal ini penting dilakukan untuk memperbaiki kepercayaan investor sehingga mau menanamkan investasinya di Indonesia.

Dan langkah awal yang dapat dilakukan oleh Presiden Prabowo untuk memperbaiki citra Indonesia di mata internasional ialah keluar dari bayang-bayang Jokowi. Hal ini penting dilakukan mengingat Presiden Prabowo harus meyakinkan dunia internasional bahwa pemerintahannya akan jauh lebih baik dan berbeda dengan apa yang dijalankan oleh pendahulunya.

Kedua, Presiden Prabowo harus menghindarkan diri dari praktek bisnis kroni, terutama tidak menjadikan para taipan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional. Hal ini penting dilakukan agar Presiden Prabowo tidak terjebak lingkaran setan state capture corruption.

Ketiga, Presiden Prabowo harus mampu menciptakan stabilitas politik, terutama mengakhiri ekses pemilu 2024 lalu yang masih meninggalkan luka dan konflik yang tak berkesudahan.

Terutama Presiden Prabowo harus mampu berdiri sebagai pemimpin bangsa yang mampu merangkul semua pihak, tidak hanya menjadi boneka dari kelompok kepentingan tertentu saja.

Artinya, Presiden Prabowo harus mampu menjadi presiden semua rakyat Indonesia, bukan hanya sekedar menyenangkan hati para pendukungnya semata. Ia harus menjadi representasi kepentingan seluruh rakyat Indonesia dan hanya bekerja untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan segelintir orang.

Memastikan stabilitas politik dalam negeri sangatlah penting agar Indonesia mampu keluar dari situasi yang sulit dan ditengah tekanan ekonomi global.

Ketidakstabilan politik yang berujung pada instabilitas pemerintah bisa mengakibatkan “pembajakan” negara oleh kekuatan oligarki. Dan hal ini pastinya semua dari kita tidak menginginkannya.

Topik Menarik