Rencana Prabowo Terkait Sawit, Bukan Deforestasi Justru Reforestasi

Rencana Prabowo Terkait Sawit, Bukan Deforestasi Justru Reforestasi

Terkini | sindonews | Sabtu, 11 Januari 2025 - 08:43
share

Rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan menambah lahan sawit tidak masuk dalam kategori deforestasi jika menggunakan hutan negara yang terdegradasi atau hutan yang tidak berhutan. Syaratnya, hutan yang rusak tersebut hanya 70 persen yang ditanami kelapa sawit, 30 persen lahan lainnya diisi dengan tanaman unggulan setempat seperti meranti, ulin, kayu hitam dan lainnya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Yanto Santoso. Dia mengungkapkan justru kalau sistem penanaman sawit nanti tetap memperhatikan komposisi untuk tanaman hutan bisa disebut reforestasi.

"Dari tidak berhutan, tidak bertumbuh tumbuhan, kemudian diubah menjadi tanaman sawit. Tidak murni ya (70 persen sawit, 30 persen tanaman hutan). Maka justru itu menghutankan kembali kan? Jadi betul Presiden, tidak ada deforestasi," ungkap Prof Yanto Santoso dalam keterangannya pada Sabtu (11/1/2025). Kenapa 30 persen harus ditanami tanaman hutan setempat agar tidak monokultur yang sangat rentan munculnya gangguan ekologi.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyatakan ingin menambah tanaman kepala sawit. Dalam pidatonya, di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN Tahun 2025-2029, di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, pada 30 Desember 2024 lalu, Prabowo menyebut tidak perlu takut dengan deforestasi.

"Dan saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit, enggak usah takut membahayakan, apa itu deforestation, iya kan," kata Presiden. Dia menambahkan bahwa kepala sawit juga pohon berdaun yang juga bisa mengeluarkan oksigen dan menyerap karbon dioksida (CO2). Dalam kesempatan itu, Kepala Negara juga meminta semua aparat daerah, TNI/Polri untuk menjaga keamanan industri sawit.

Lebih jauh, Yanto menjelaskan bila tujuan Presiden Prabowo dalam menambah lahan sawit untuk memastikan kecukupan ketersediaan pangan bagi bangsa tidak seharusnya hal tersebut diributkan. Apalagi kelapa sawit merupakan tanaman yang multi manfaat. ‘’Saya juga tidak setuju kalau hutan yang rimba raya ditebang kemudian ditanami sawit. Sayang. Tapi ini kan hutan rusak, ya nggak apa-apa. Justru hutan yang rusak tersebut ditingkatkan produktivitasnya,’’ jelas Ketua Dewan Pakar Pusaka Kalam ini.

Menurut Yanto, jumlah hutan yang tidak berhutan sebanyak 31,8 juta hektar. Selama ini hutan rusak yang nganggur dan tidak terpantau justru bisa membahayakan karena seringkali tiba-tiba kebakaran. ‘’Seringkali ada kebun sawit yang terbakar, ternyata sumber api dari kawasan yang tidak terkelola. Hutan yang dibiarkan telantar,’’ tambahnya.

Prof Yanto kemudian menjelaskan terkait definisi deforestasi. Ada perbedaan pandangan antara deforestasi menurut definisi internasional dan Indonesia. Deforestasi menurut definisi internasional adalah perubahan areal berhutan menjadi areal yang tidak berhutan. Tidak peduli apakah Kawasan hutan atau tanah rakyat. ‘’Hutan yang ditebang habis menjadi gundul itu namanya deforestasi. Demikian juga hutan alam. Pokoknya nggak peduli siapa yang punya mengubah hutan menjadi tidak berhutan itu disebut deforestasi,’’ paparnya.

Adapun, deforestasi berdasarkan definisi Indonesia adalah perubahan kawasan hutan negara yang awal tujuannya untuk kehutanan berubah menjadi peruntukan bukan untuk kehutanan. Contoh untuk kepentingan industri, transmigrasi, kebun, sawah dan lainnya. ‘’Itu namanya deforestasi. Dalam bahasa sederhana, namanya alih fungsi kawasan atau perubahan peruntukan area,’’ ungkap Yanto.

Mengacu pada definisi diatas, ide yang dilontarkan Presiden Prabowo belum tentu masuk dalam kategori deforestasi. Apalagi, jika nantinya penambahan lahan sawit memanfaatkan hutan yang terdegradasi tersebut.

Untuk menghentikan berbagai tudingan miring terkait rencana penambahan lahan sawit tersebut, dia mengharapkan pemerintah segera memberikan penjelasan yang transparan dan rinci. Pertama, bahwa penambahan kebun sawit yang disampaikan Presiden Prabowo tersebut akan dilaksanakan di kawasan-kawasan hutan yang sudah rusak atau terdegradasi. Kedua, penanaman sawit tersebut diusahakan berisi 70 persen tanaman sawit, 30 persen lainnya harus ada tanaman hutan unggulan setempat.

"Pemerintah harus berani mengatakan bahwa saat ini dan ke depan sawit merupakan anugerah Tuhan yang memberikan dampak ekonomi luar biasa. Jadikanlah ini sebagai suatu proyek strategis nasional," tegas Yanto.

Menanggapi pernyataan terkait tanaman sawit tidak bisa menyerap karbon dioksida (CO2), Yanto justru mempertanyakannya. Menurut dia, aneh bagi orang yang menyebut sawit tidak bisa menyerap CO2. Karena secara teori tanaman yang berbuah dan buahnya dipanen, pasti melewati proses fotosistesa yang membutuhkan CO2.

"Mungkin kalau dibandingkan sama hutan rimba raya, struktur tajuknya mungkin kalah, tapi kalau kita bandingkan pohon per pohon tak mustahil sawit bisa kurang sedikit. Tapi intinya sawit itu sama dengan tumbuhan lainnya bisa menyerap CO2, karena mengalami fotosintesa," tandasnya.

Topik Menarik