Menyamar Jadi Jenderal Iran, Agen DEA Gagalkan Bos Yakuza Jual Bahan Senjata Nuklir
Takeshi Ebisawa (60), pemimpin sindikat kriminal terorganisasi Jepang atau yakuza, telah mengaku bersalah mencoba menjual bahan senjata nuklir dari Myanmar kepada Iran.
Pengakuan bersalah Ebisawa disampaikan pada Rabu lalu dalam sidang pengadilan federal Manhattan, New York, Amerika Serikat (AS). Selain didakwa percobaan penjualan bahan senjata nuklir, dia juga didakwa penjualan senjata dan narkoba internasional.
Vonis terhadap bos yakuza ini dijadwalkan pada 9 April mendatang.
Upaya Ebisawa mencoba menjual bahan senjata nuklir dari Myanmar kepada Iran terungkap berkat aksi agen DEA (Drug Enforcement Administration) AS yang menyamar sebagai jenderal Iran.
Jaksa pengadilan mengatakan pada Februari 2024, Ebisawa didakwa berkonspirasi untuk menjual bahan nuklir tingkat senjata dan narkotika mematikan dari Myanmar dan membeli persenjataan militer atas nama kelompok pemberontak bersenjata di sana. Jaksa tidak menyebutkan nama kelompok pemberontak yang dimaksud.
Persenjataan militer yang menjadi bagian dari kesepakatan senjata tersebut termasuk rudal permukaan-ke-udara yang akan digunakan oleh pemberontak dalam perang saudara di Myanmar, imbuh jaksa penuntut dalam sebuah pernyataan.
"Seperti yang diakuinya di pengadilan federal hari ini [Rabu], Takeshi Ebisawa secara terang-terangan menyelundupkan material nuklir, termasuk plutonium tingkat senjata, dari Burma (Myanmar)," kata penjabat jaksa AS Edward Kim untuk Distrik Selatan New York.
"Pada saat yang sama, dia berupaya mengirim heroin dan metamfetamin dalam jumlah besar ke Amerika Serikat dengan imbalan persenjataan berat seperti rudal permukaan-ke-udara untuk digunakan di medan perang di Burma," lanjut Kim.
Ebisawa tertangkap dalam operasi penyamaran oleh agen DEA. Jaksa penuntut mengatakan dia membanggakan kepada salah satu sumber DEA dan rekan sumber tersebut, yang menyamar sebagai jenderal Iran, bahwa dia memiliki akses ke uranium dan plutonium tingkat senjata, di samping narkoba, dari Myanmar.
Pada tahun 2020, Ebisawa mengirimi sumber DEA serangkaian foto yang menggambarkan zat berbatu dengan penghitung Geiger yang mengukur radiasi, serta halaman-halaman yang Ebisawa gambarkan sebagai analisis laboratorium yang menunjukkan keberadaan thorium dan uranium dalam zat-zat tersebut.
Dia terus berkomunikasi dengan sumber DEA pada tahun 2021 dan 2022.
Selama operasi penyamaran, termasuk agen yang menyamar sebagai jenderal Iran, otoritas Thailand membantu penyidik AS dalam menyita dua zat kuning bubuk yang digambarkan terdakwa sebagai "yellowcake".
Departemen Kehakiman mengatakan laboratorium AS menetapkan bahwa komposisi isotop plutonium yang ditemukan dalam sampel tersebut sebenarnya adalah tingkat senjata. "Yang berarti bahwa plutonium, jika diproduksi dalam jumlah yang cukup, akan cocok untuk digunakan dalam senjata nuklir," kata departemen tersebut, yang dilansir Middle East Eye, Jumat (10/1/2025).
Salah satu rekan konspirator Ebisawa mengeklaim bahwa mereka memiliki lebih dari 2.000 kilogram (4.400 pon) Thorium-232 dan lebih dari 100 kilogram uranium dalam senyawa U3O8—mengacu pada senyawa uranium yang umum ditemukan dalam bubuk konsentrat uranium yang dikenal sebagai "yellowcake".
Dakwaan tersebut mengeklaim bahwa Ebisawa telah menyarankan penggunaan hasil penjualan bahan nuklir untuk mendanai pembelian senjata atas nama kelompok pemberontak etnis yang tidak disebutkan namanya di Myanmar.
"Takeshi Ebisawa secara terang-terangan menyelundupkan bahan nuklir, termasuk plutonium tingkat senjata, dari Burma," kata Kim.
“Pada saat yang sama, dia berupaya mengirim heroin dan metamfetamin dalam jumlah besar ke Amerika Serikat dengan imbalan persenjataan berat seperti rudal permukaan-ke-udara yang akan digunakan di medan perang di Burma dan mencuci apa yang dia yakini sebagai uang narkoba dari New York ke Tokyo,” imbuh dia.
Yakuza adalah jaringan kriminal transnasional Jepang yang terkenal kejam. Pada puncak kekuasaannya pada tahun 1960-an, yakuza membanggakan lebih dari 180.000 anggota, tetapi telah berjuang dengan perekrutan dalam beberapa tahun terakhir di tengah tindakan keras oleh pemerintah Jepang.
Tahun lalu, anggota jaringan tersebut diperkirakan tersisa 20.400 orang.