Kisah Pangeran Diponegoro Bentrok dengan Pejabat Belanda Bergaya Hidup Buruk dan Hedonis

Kisah Pangeran Diponegoro Bentrok dengan Pejabat Belanda Bergaya Hidup Buruk dan Hedonis

Infografis | sindonews | Selasa, 7 Januari 2025 - 06:06
share

Pangeran Diponegoro konon sering jengkel dan marah dengan pejabat Belanda yang memiliki gaya hidup buruk seperti minum minuman keras (miras) dan hedonis ala Eropa.

Pangeran dari Keraton Yogyakarta ini berseberangan dengan para pejabat Belanda seperti Nahuys Van Burgst, Rijck Van Prehn, hingga Johannes Wilhelmus Winter.

Kejengkelan Diponegoro bertambah saat pejabat Belanda itu konon beberapa kali menerima uang suap dari sejumlah orang di Keraton Yogyakarta, demi menjanjikan beberapa jabatan strategis di keraton.

Hal ini juga konon membuat Pangeran Diponegoro kurang begitu menyukai mereka. Kalaupun tidak terlibat kasus korupsi, perilaku sosial para pejabat Belanda itu pun jauh dari yang diharapkan.

Dalam acara makan malam di Surakarta, Nahuys bisa saja membuat tamu-tamunya tertawa-tawa gembira, tetapi sang pangeran pernah bertanya apakah memang ini yang sesungguhnya diharapkan orang-orang Jawa pribumi kelas atas dalam pergaulan sosial mereka dengan orang Eropa.

Dalam buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 - 1855" yang ditulis Peter Carey mengisahkan para pejabat Belanda itu juga banyak melakukan skandal seks.

Perilaku ini tentu mengejutkan dan membuat marah orang-orang Jawa kala itu, termasuk sang Pangeran Diponegoro.

Saat itu, Pangeran Diponegoro mengomentari dengan rasa heran gejala ménage à trois atau artinya rumah tangga orang, dalam arti berganti perempuan,dalam Karesidenan Yogya pasca-1816.

Di sana residen baru dan wakilnya yang orang Eurasia, R.C.N. d'Abo, konon meniduri secara bergantian perempuan yang sama, yaitu istri D'Abo, Anna Louisa binti Van den Berg, yang kemudian dinikahi Nahuys.

Bermain asmara dengan istri pejabat bawahan adalah satu hal yang dilakukan. Di sisi lain menggoda dan mengambil ibu anak-anak ningrat Jawa adalah perkara lain lagi yang turut merisaukan.

Namun, hal ini tampaknya menjadi norma umum yang berlaku di antara para pejabat Belanda di Jawa tengah dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa.

Salah seorang kerabat Diponegoro, penghulu utama yang menjadi pejabat agama senior Rembang, kelak akan menyebut kebejatan moral ini sebagai salah satu dari empat masalah kunci yang harus dibereskan Belanda sebelum Perang Jawa dapat diakhiri.

Kondisi ini yang akhirnya menjadi penyulut kemarahan Pangeran Diponegoro sebelum meletusnya Perang Jawa.

Topik Menarik