Kisah Abdullah bin Abbas: Doa Nabi SAW yang Mempengaruhi Jalan Hidupnya

Kisah Abdullah bin Abbas: Doa Nabi SAW yang Mempengaruhi Jalan Hidupnya

Terkini | sindonews | Kamis, 26 Desember 2024 - 18:44
share

Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas bersama Rasulullah SAW selagi masih becil. Rasulullah wafat sebelum ia mencapai usia dewasa. Sepupu Nabi SAW ini selalu didoakan nabi. Dan doa itu mempengaruhi jalan hidupnya.

Hanya saja, sedari kecil Ibnu Abbas telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah SAW yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni.

Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlak serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul.

la adalah putra Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim. Jadi, Ibnu Abbas adalah sepupu Rasulullah SAW.

Sedari kecil, Ibnu Abbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendoakannya: "Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta'wil".

Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan, Rasulullah mengulang-ulang do'a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu. Dan ketika itu ia mengertilah bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan.

Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah SAW wafat, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkannya.

Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A'la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari sahabat-sahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang input didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah SAW sendiri. Suatu tanda tanya (ingin mengetahui dan ingin bertanya) terpatri dalam dirinya.

Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya.

Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi jnga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.

"Pernah aku bertanya kepada 30 orang sahabat Rasul shallallahu alaihi wasalam mengenai satu masalah," ujar Ibnu Abbas menceritakan pengalamannya.

"Pernah aku mendapatkan satu hadis dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur siang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya: "Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu?

Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?"

"Tidak!" ujarku, "bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah hadits dan aku belajar daripadanya...!"

Demikianlah Ibnu Abbas yang agung ini bertanya, kemudian bertanya dan bertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan pikiran yang berlian.

Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting.

Menguasai Berbagai Ilmu

Ibnu Abbas berilmu tinggi dan memiliki kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul. Lantaran menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu, ia pun menjadi tujuan bagi orang-orang pang mencari ilmu. Berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.

Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa.

Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman. Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara.

Pada suatu hari orang bertanya kepada Ibnu Abbas: "Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini... ?"

"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berpikir... !" jawabnya.

Dengan lidahnya yang selalu bertanya dan pikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai "kyai umat" pada zamannya.

Sa'ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini:

Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berpikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas..!

Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!"

Ubaidillah bin 'Utbah juga berkata: "Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam daripada Ibnu Abbas.

Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya. Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya.

Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari.

Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir Quran, ilmu hisab dan soal pembagian pusaka daripadanya.

Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya."

Seorang penduduk Bashrah melukiskan Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, sebagai berikut:

"la mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara"

1. Menarik hati pendengar apabila ia berbicara. 2. Memperhatikan setiap ucapan pembicara. 3. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.

1. Menjauhi sifat mengambil muka. 2. Menjauhi orang-orang yang rendah budi. 3. Menjauhi setiap perbuatan dosa.

Berdebat dengan Khawarij

Pada suatu hari Ibnu Abbas diutus oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib kepada sekelompok besar kaum Khawarij. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat memesona. Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:

"Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali?" tanya Ibnu Abbas.

"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya," jawab mereka.

"Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: "Tak ada hukum kecuali bagi Allah.

Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya.

Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang- orang mukmin lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir.!"

Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas. "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya," ujar Ibnu Abbas.

Bukankah Allah telah berfirman:

"Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya..." (QS al-Maidah : 95)

Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"

Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan bantahannya: "Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan?"

Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu. Mereka menutupi muka mereka dengan tangan.

Sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: "Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy.

Kata beliau kepada penulis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Quraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu... ! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah... !"

Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya..."

Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya: "Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah...!"

Demikianlah, dengan cara yang menarik dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar pikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan- keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Khalifah Ali bin Abu Thalib.

Topik Menarik