Ketegasan Tokoh di Minahasa Tolak Berikan Beras ke Belanda hingga Pecah Peperangan
Tindakan sewenang-wenang VOC dan Belanda membuat masyarakat di Minahasa jenuh. Mereka dari berbagai masyarakat adat pun langsung mengadakan pertemuan, pemerintah Hindia Belanda pascaambruknya VOC juga hadir diwakili oleh Carel Christoph Prediger Jr.
Prediger melaksanakan pendekatan - pendekatan kepada ukung - ukung atau pemimpin dalam suatu wilayah di Minahasa. Perjanjian yang awalnya telah dibuat oleh VOC Belanda dan masyarakat Minahasa, coba diperbarui kembali. Tapi permasalahan baru ketika pejabat Belanda Carel Christoph Prediger mengajukan tuntutan agar Minahasa menyalurkan beras secara sukarela ke pihak Belanda.
Hal ini yang memicu penolakan secara keras dari para ukung. Penolakan itu disadari oleh Prediger, hingga akhirnya sama-sama mencoba menahan diri. Tapi para ukung keburu sudah tidak puas dengan tindakan Pejabat Belanda di Minahasa itu.
Pertemuan antara Pejabat Belanda dengan para pemimpin dan tokoh Minahasa pun akhirnya terjadi di Air Madidi, pada 10 Mei 1808. Tapi tidak semua pemimpin di masing-masing daerah itu konon hadir, sehingga akhirnya pertemuan baru benar-benar terjadi pada 19 dan 20 Mei 1808.
Dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia", di sanalah Pejabat Belanda menyampaikan instruksi dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda William Daendels, yang mengharuskan setiap wilayah merekrut pemuda-pemuda di daerahnya untuk bergabung ke pasukan Belanda mengantisipasi adanya serangan dari Inggris.
Benar saja ketika para pemimpin masing-masing daerah menemui masyarakatnya banyak yang menolak. Justru para ukung itu akhirnya mengadakan pertemuan lagi di rumah kediaman Matulandi, di Tondano Touliang pada 2 Juni 1808 bahwa usulan Prediger, yang sebelumnya ditolak mentah-mentah.
Pemimpin - pemimpin wilayah seperti Lonto dari Tomohon, Tewu dan Matulandi dari Tondano, dan Mamait dari Remboken, hadir. Sementara kepala - kepala walak atau masyarakat dari Kakas, Remboken, Sonder, Tounsarongsong, Tompaso, Kawangkoan, Tombasian, Tonsea, Klabat, dan lainnya juga tercatat dalam pertemuan ini.
Soroti Program Transmigrasi ke Papua, Tokoh Masyarakat: Pemberdayaan Masyarakat yang Harus Dilakukan
Di pertemuan antartokoh wilayah itu menyepakati adanya penolakan pemberian beras secara sukarela ke Belanda, kehadiran pasukan dari luar wilayah Minahasa, serta penolakan pemuda asal Minahasa yang direkrut untuk jadi serdadu Belanda sebagai persiapan bertempur melawan Inggris, sebagaimana instruksi dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tercatat empat hari beruntun diadakan pertemuan membahas perjanjian - perjanjian yang sebelumnya dilakukan dengan Belanda. Tapi pertemuan antara pemimpin wilayah daerah di Minahasa, dengan pejabat Belanda tetap tak menghasilkan kesepakatan.
Para peserta pertemuan tetap menolak tawaran dari Belanda. Bahkan di pertemuan itu disepakati oleh pemimpin tokoh Minahasa bahwa pembagian uang kepada pemuda-pemuda Minahasa agar mau menjadi tentara, tidak pernah terjadi.
Masyarakat juga menolak adanya kerja wajib yang diberlakukan Belanda untuk memelihara benteng di Manado. Masyarakat juga menolak membayar setengah gantang padi setiap keluarga untuk membiayai kora-kora Ternate, yang menjaga keamanan pantai terhadap ancaman lanun atau bajak laut Mindanao, karena tanpa ada itu pun ternyata bajak laut tetap merajalela.
Konon situasi akhirnya memanas. Memang awalnya tak ada niatan dari masyarakat untuk melakukan perlawanan peperangan terhadap Belanda secara terbuka, kecuali jika kompeni menanggapinya dengan pendekatan kekerasan.
Tapi berbagai upaya pendekatan akhirnya gagal, hingga pilihan pendekatan represif dengan kekerasan akhirnya dilakukan. Rencana peperangan pun akhirnya disetujui oleh Gubernur Maluku Carel Lodewijk Wieling, mendapat laporan dari Prediger. Pasukan pun dibentuk untuk mengantisipasi sewaktu-waktu peperangan pecah di Minahasa.