Kisah Hasan bin Ali, Cucu Nabi Muhammad yang Mengorbankan Kekuasaan demi Perdamaian
Hasan bin Ali, cucu tercinta Nabi Muhammad, dikenal bukan hanya karena garis keturunan mulianya, tetapi juga karena kebijaksanaan luar biasa yang ditunjukkannya dalam memimpin umat.
Dalam perjalanan sejarah Islam, Hasan bin Ali mengambil keputusan besar yang mengubah arah kekhalifahan, yaitu mengorbankan kekuasaan demi perdamaian.
Kisahnya mengajarkan kita pentingnya mengedepankan keselamatan umat dan menghindari konflik yang merugikan banyak pihak.
Artikel ini mengulas perjalanan hidup Hasan bin Ali, dari pengambilalihan kekhalifahan hingga pengunduran dirinya demi menjaga stabilitas umat Islam.
Awal Kisah Hasan bin Ali, Cucu Rasulullah
Hasan bin Ali lahir pada tanggal 1 Desember 624 Masehi atau tanggal 15 Ramadhan 3 AH dalam kalender Islam. Beliau adalah anak dari Ali bin Abi Thalib yaitu bapaknya dan Fatimah yaitu ibunya dimana Nabi Muhammad SAW adalah paman dari Hasan bin Ali.Saat kelahiran Hasan bin Ali, Rasulullah datang ke rumah putrinya (Fatimah) untuk mengumandangkan adzan sebagai rasa syukur atas kelahiran cucunya.
setelah itu Rasulullah melaksanakan aqiqah dengan mengorbankan 1 ekor domba jantan dan Fatimah mencukur rambut anaknya, Hasan bin Ali dimana perak akan disumbangkan yang memiliki sama berat dengan rambut cukuran Hasan bin Ali.
Terdapat riwayat bahwa Hasan dan Husain (saudara Hasan) duduk di bahu Nabi Muhammad saat berdoa dan adapun riwayat dimana Rasulullah memperpanjang sujudnya saat Hasan dan Husain menaiki punggungnya saat Rasulullah sedang sholat.
Riwayat lainnya juga menceritakan bagaimana kedua cucu Rasulullah masuk ke masjid saat beliau sedang berpidato tetapi melainkan menegur mereka, Rasulullah turun dan memeluk kedua dari cucunya.
Dari riwayat ini dapat diketahui bahwa walaupun anak-anak dapat mengganggu ibadah, mereka tidak boleh menjadi hambatan saat beribadah dan tidak boleh dimarahi melainkan mengajarkan larangan mereka untuk mengganggu ibadah seseorang dengan kasih sayang dan secara lembut.
Kekhalifahan Hasan bin Ali
Kekhalifahan Hasan bin Ali berawal dari kematian ayahnya yaitu Ali bin Abi Thalib oleh seseorang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam saat . Alhasil dari peristiwa tersebut, orang orang yang memberi kesetiaan kepada ali sekarang memberikan kesetiaan kepada anaknya yaitu Hasan.Pada saat Hasan akan dilaksanakan baiat (upacara pelantikan), Qais bin Sa’ad yaitu pendukung setia Ali dan komandan pasukannya yang terpercaya menetapkan syarat-syarat dari baiat dimana harus berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Muhammad, dan memerangi mereka yang menghalalkan sesuatu yang sebenarnya diharamkan. Tetapi Hasan ingin menghindari kondisi terakhir dimana beliau berkata secara implisit termasuk dalam dua yang pertama.
Dengan menghindari kondisi terakhir dalam syarat baiat tersebut, Hasan ingin “menghindari komitmen pada pendirian ekstrem yang dapat menyebabkan bencana total”.
Menurut al-Baladhuri, Sumpah yang diambil oleh hasan dimana "harus memerangi mereka yang berperang dengan Hasan, dan harus hidup damai dengan mereka yang berada di damai dengannya." mengakibatkan pendukung Hasan bertanya jika Hasan berbicara tentang perdamaian, apakah karena dia ingin berdamai dengan Muawiyah?
Warga Karanganyar Terseret Arus Sungai saat Mancing, Jasad Ditemukan 1 Km dari Lokasi Kejadian
Selama 50 hari sebelum kematian ayahnya, Hasan tidak mengambil tindakan terkait perang atau perdamaian selama hampir 50 hari. Tetapi setelah kematian Ali bin Abi Thalib, Muawiyah mengirim mata-mata ke Irak, Kufah, dan Basra. Hasan menangkap dan mengeksekusi mata mata tersebut dan memerintahkan gubernur Basra untuk melakukan hal serupa.
Hasan dan Ibn Abbas mengirimkan sebuah surat kepada Muawiyah, mengecam tindakan yang dilakukannya, serta mengancam akan memulai perang jika perilakunya tidak berubah.
Hasan menekankan klaimnya atas posisi kepemimpinan, meminta agar Muawiyah bersikap tunduk, dan mengingatkan tentang akibat yang akan muncul jika situasi ini berlanjut.
Muawiyah membalas dengan ancaman, menawarkan kekayaan, serta membujuk dengan berbagai tipu daya, bahkan menyodorkan tawaran damai dengan beberapa syarat. Sikap Muawiyah, ditambah dengan perpecahan di antara pasukan Hasan, justru menciptakan ketegangan yang meningkatkan kemungkinan terjadinya perang.
Perselisihan dengan Muawiyah
Setelah mendengar tentang pemilihan Hasan, Muawiyah, yang sebelumnya berkonflik dengan Ali untuk mendapatkan kekhalifahan, menolak untuk menerima hasil tersebut.Upaya untuk berdialog di antara mereka pun gagal, dan Muawiyah mulai mempersiapkan pertempuran dengan mengumpulkan tentara berjumlah enam puluh ribu.
Walaupun Hasan mencoba meyakinkan Muawiyah agar meninggalkan klaimnya, surat-surat yang mereka tukarkan justru memperburuk keadaan. Dalam salah satu suratnya, Hasan mengingatkan Muawiyah tentang argumen yang diajukan ayahnya, Ali, yang menyatakan bahwa keluarga Muhammad memiliki hak yang lebih besar untuk memimpin.
Namun, Muawiyah menjawab dengan menyatakan pengalaman dalam pemerintahan dan usianya yang lebih tua dari Hasan, serta menegaskan bahwa Hasan seharusnya mengikuti perintahnya jika ingin menghindari konflik.
Jafri menilai bahwa Muawiyah berupaya menekan Hasan agar mundur atau mengambil peluang untuk menyerang pasukan Irak sebelum mereka menjadi kuat.
Perjanjian dengan Muawiyah
Untuk menghindari konflik lebih lanjut Muawiyah memulai negosiasi dengan Hasan, Muawiyah mengirim utusan tingkat tinggi dengan tawaran damai, di mana Hasan akan menjadi khalifah setelah dirinya dan diberikan berbagai keuntungan.Hasan menerima tawaran itu secara prinsip, namun dengan syarat tertentu, termasuk agar Muawiyah mematuhi Kitab Allah, Sunnah Nabi, dan perilaku khalifah sebelumnya. Muawiyah juga setuju untuk tidak menunjuk penggantinya dan memastikan keamanan rakyat.
Surat perjanjian ini disaksikan oleh beberapa utusan dan mengatur berbagai hak yang harus diterima Hasan, termasuk pendapatan tahunan dan amnesti untuk pengikut Ali.
Namun, ada berbagai versi mengenai kondisi perjanjian ini, dengan beberapa sejarawan menyebutkan syarat yang berbeda. Pada akhirnya, Hasan menandatangani perjanjian ini dengan harapan bahwa Muawiyah akan menepati janji-janjinya.
Pengunduran Diri Hasan dan Pensiun di Madinah
Setelah perjanjian damai dengan Hasan, Muawiyah berangkat bersama pasukannya menuju Kufah, di mana sebuah upacara penyerahan umum diadakan. Dalam kesempatan tersebut, Muawiyah meminta Hasan untuk berdiri dan meminta maaf. Namun, setelah bantahan pertama, Hasan bangkit dan mengingatkan hadirin bahwa dia dan Husain adalah satu-satunya cucu Nabi Muhammad. Hasan menegaskan bahwa dia telah menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah demi kepentingan terbaik masyarakat, dan bukan karena keinginan pribadi.Saat Hasan pensiun di Madinah, beliau berusaha menghindari dan menjauhkan diri dari masalah politik untuk mendukung atau menentang Muawiyah. walaupun begitu, beliau tetap dianggap sebagai kepala rumah tangga Muhammad oleh Bani Hasyim dan pendukungnya.
Banyak penduduk Kufah yang datang kepada Hasan dalam kelompok-kelompok kecil, memintanya untuk menjadi pemimpin mereka. Namun, Hasan menolak untuk menanggapi permintaan tersebut, karena dia telah menandatangani perjanjian damai dengan Mu'awiyah dan berkomitmen untuk menjaga kesepakatan tersebut.
Kematian Hasan bin Ali
Hasan wafat pada tanggal 5 Rabiul Awal tahun 50 H (2 April 670 M). Beberapa sumber awal mencatat bahwa ia diracuni oleh istrinya, Ja'dah binti al-Asy'ats.Vaglieri berpendapat bahwa sebab kematian Hasan adalah penyakit kronis, atau mungkin juga karena keracunan.
Dikatakan bahwa Muawiyah menjanjikan sejumlah besar uang dan perjanjian menikah dengan putranya, Yazid, agar kematiannya bisa diatur. Namun, Al-Tabari tidak mencatat hal tersebut, sehingga Madelung berpendapat bahwa Al-Tabari mungkin sengaja menutupi informasi ini untuk melindungi perasaan rakyat.
Sebagai seorang pemimpin yang penuh kebijaksanaan, Hasan bin Ali mengajarkan kita pentingnya memilih perdamaian dan menghindari pertumpahan darah demi kepentingan umat.
Meskipun ia mewarisi kekhalifahan dari ayahnya, ia lebih memilih untuk mengedepankan harmoni dan kesejahteraan masyarakat daripada kekuasaan pribadi.
Keputusannya untuk berdamai dengan Muawiyah, meskipun kontroversial, mencerminkan sikap seorang pemimpin yang paham akan kondisi yang lebih besar.
Kepergian Hasan yang penuh misteri, ditambah dengan warisan yang ia tinggalkan, menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang dalam menghadapi tantangan kepemimpinan dan politik.
Semoga kisah hidup Hasan bin Ali terus menginspirasi kita untuk menempatkan kepentingan umat di atas segalanya.MG/ Raffirabbani Panatamahdi Adizaputra