PPN 12 di 2025, Kelas Menengah Kembali Jadi Korban dan Bikin Ekonomi RI Mandek
Pemerintah dinilai perlu menunda pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 pada Januari 2025 mendatang. Penundaan bisa dilakukan setidaknya hingga ada gambaran jelas tentang arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) pasca pelantikan presiden AS terpilih Donald Trump.
Ekonom dari Universitas Islam Sumatera Utara, Gunawan Benjamin mengatakan, rencana menaikkan PPN menjadi 12 di Januari 2025 memang kontradiktif dengan kondisi daya beli masyarakat yang saat ini tengah melemah.
Namun kebijakan tersebut justru menjadi jurus yang dinanti pemerintah untuk tetap menjaga kesehatan APBN, seiring dengan penambahan pengeluaran pemerintah akibat proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), program makan bergizi gratis, target swasembada pangan hingga pengeluaran tambahan anggaran kementerian.
Menurutnya kenaikan PPN menjadi 12 akan memicu terjadinya kenaikan harga kebutuhan masyarakat dan mendorong terciptanya inflasi. Daya beli masyarakat akan mengalami tekanan, dimana kelas menengah yang akan menjadi korbannya.
6 Contoh Cerpen Singkat tentang Hewan, Ada Si Anjing Pemberani dan Monyet yang Menyamar Jadi Harimau
"Sementara masyarakat kelas bawah atau yang termasuk dalam golongan miskin, masih akan mampu diselamatkan karena pemerintah punya kebijakan perlindungan sosial yang diwacanakan anggarannya juga dinaikkan di tahun depan," kata Gunawan, Jumat (22/11/2024).
Kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 ini, menurut Gunawan, sebaiknya dipikirkan matang-matang. Selain karena memang akan memberikan tekanan daya beli masyarakat, kebijakan tersebut sangat potensial menekan laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusi belanja rumah tangga berpeluang menyusut dengan kenaikan PPN tersebut.
"Selain inflasi yang ditimbulkan dari kenaikan PPN, di semester I tahun 2025 kita juga berpeluang menghadapi tekanan inflasi tinggi dari sejumlah komoditas pangan strategis yang dipicu oleh melemahnya kemampuan petani seiring dengan terpuruknya harga jual produk pangan hortikultura yang tercermin dari deflasi sebelumnya," terang Gunawan.
Kemudian saat ini negara-negara di dunia juga tengah mewaspadai kebijakan Presiden terpilih AS Donald Trump di Januari mendatang. Sejumlah isu seperti perang dagang dengan negara mitra AS yang mencetak surplus, pemangkasan pajak, hingga tekanan kepada minyak Iran juga berpeluang mendorong kenaikan laju tekanan inflasi.
"Rupiah berpeluang kembali tertekan, yang nantinya akan merembet dan bermuara pada penurunan daya beli masyarakat di tanah air," tukasnya.
Kebijakan menaikkan PPN ini sebaiknya dipertimbangkan ulang, setidaknya hingga kita tahu arah kebijakan ekonomi pemerintah AS di tahun depan. Sejauh ini Presiden telah menginstruksikan untuk mengurangi anggaran infrastruktur. Langkah ini sebenarnya sudah memberikan pesan kepada kita bahwa pemerintah sudah menetapkan skala prioritas pengeluarannya.
"Hanya saja, AS sangat berpeluang merubah tatanan ekonomi global dengan arah kebijakan yang baru. Dinamika ekonomi global saat ini dan kedepan cenderung memberikan dampak buruk bagi ekonomi di tanah air. Sekalipun kebijakan tersebut tidak sepenuhnya mampu mengatasi dilema anggaran pemerintah saat ini, tetapi kebijakan apapun yang diambil setelah Trump menjabat akan lebih terukur," pungkasnya.