Sejarah Perang Bubat Jadi Aib Terbesar Majapahit di Nagarakretagama dan Pararaton
PARARATON dan Nagarakretagama sama-sama menjadi referensi sejarah mendeskripsikan kemegahan dan kebesaran Kerajaan Majapahit. Tapi dari sejumlah pemaparan peristiwa Perang Bubat, dan setelahnya menjadi hal yang diungkapkan berbeda keduanya.
Perang Bubat memang menjadi aib terbesar Kerajaan Majapahit dan Mahapatih Gajah Mada. Karena Perang Bubat itulah hubungannya dengan sang raja Hayam Wuruk, juga sempat memburuk.
Bahkan ada beberapa yang menyebut, Gajah Mada diberhentikan oleh Hayam Wuruk pasca peristiwa Bubat itu. Pararaton menyatakan bahwa sehabis perang Bubat Sang Prabhu kawin dengan putri Bhatara Hyang Parameswara, bernama Paduka Sori.
Dari perkawinan itu lahir Bhre Lasem Sang Ahayu. Bhatara Hyang Parameswara adalah Bhre Wengker, suami Bhre Daha Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa.Bhre Lasem Sang Ahayu dalam Pararaton ini sama dengan Kusumawardhani dalam Nagarakretagama pupuh VII/4.
Sejak kecil Kusumawardhani telah dipacangkan dengan Bhre Mataram Wikramawardhana, putra sulung Bhre Pajang. Jadi Wikramawardhana dan Kusumawar- dhani menurut aluran adalah saudara sepupu.
Berkat perkawinannya Kusumawardhani maka Wikramawardhana menjadi raja mahkota yang berhak mewaris Kerajaan Majapahit sepeninggal Sri Rajasanagara, atau Hayam Wuruk, kata buku Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, dari sejarawan Prof. Slamet Muljana.
Nagarakretagama pupuh LXXXVI menyediakan uraian agak panjang tentang Bubat, namun sama sekali tidak menyinggung Perang Bubat, antara tentara Majapahit dan tentara Sunda pada tahun 1357.
Sebab Perang Bubat kurang pantas dimasukkan dalarn pujasastra kepada Dyah Hayam Wuruk, yang dibuat oleh Mpu Prapanca, sebagai bagian dari pemujaan ke sang raja.
Bubat adalah lapangan luas lagi lebar di sebelah utara kota Majapahit, membentang ke timur sejauh setengah krosa sampai jalan raya, dan membentang ke utara setengah krosa sampai tebing sungai. Di sekelilingnya dibangun rumah kediaman para pegawai kerajaan.
Pada awal bulan Caitra (Maret-April) selama tiga atau empat hari di lapangan Bubat diadakan pesta rakyat berupa pelbagai pertandingan dan berbagai pertunjukan yang dihadiri oleh pelbagai pembesar kerajaan termasuk Hayam Wuruk.
Pesta rakyat itu dimulai pada hari ketiga bulan Caitra sehabis pertemuan para pembesar di manguntur untuk mendengarkan ajaran Rajakapakapa.Maka didirikanlah panggung tinggi di tengah-tengah lapangan.
Di sebelah barat panggung dibangun balai witana tempat duduk Sri Baginda raja. Tempat duduk para menteri dan adhyaksa diatur dari utara ke selatan menghadap ke timur, sedangkan, para raja bawahan dan para aria diatur dari utara ke selatan menghadap ke barat.