Kisah Cinta Siu Ban Ci, Selir Raja Majapahit Terakhir yang Mengubah Sejarah Jawa

Kisah Cinta Siu Ban Ci, Selir Raja Majapahit Terakhir yang Mengubah Sejarah Jawa

Infografis | sindonews | Sabtu, 27 Juli 2024 - 06:46
share

Prabu Brawijaya yang diyakini sebagai raja terakhir Kerajaan Majapahit jatuh cinta pada pandangan pertama kepada gadis cantik bernama Siu Ban Ci. Gadis muslim berdarah Tionghoa tersebut datang ke Istana Majapahit untuk menemani ayahnya, Syekh Betong atau Tan Go Hwat.

Syekh Betong, juga dikenal sebagai Kyai Betong, datang menghadap Prabu Brawijaya di Istana Majapahit untuk meminta izin berdagang di wilayah Keling. Syekh Betong adalah seorang saudagar kaya dan ulama besar.

Saat menghadap Prabu Brawijaya, Syekh Betong membawa berbagai seserahan seperti batu giok dari China, kain sutra, keramik Tiongkok, dupa, dan mutiara. Namun, yang menarik perhatian Prabu Brawijaya bukanlah seserahan itu, melainkan kecantikan Siu Ban Ci.

Baca Juga: Kisah Tragis Pangeran Diponegoro Dikhianati Rakyatnya, Picu Kematian Panglima Ngabehi

Diam-diam, permaisuri Kerajaan Majapahit, Dewi Amarawati atau Putri Champa, merasa cemburu melihat Prabu Brawijaya mulai terpikat dengan Siu Ban Ci. Meskipun demikian, Prabu Brawijaya mempersilahkan Syekh Betong dan putrinya beristirahat di Puri Kanuruhan.

Setelah beristirahat semalam di Puri Kanuruhan, Syekh Betong dipanggil kembali menghadap Prabu Brawijaya. Pada saat itulah, penguasa Majapahit menyampaikan niatnya untuk menjadikan Siu Ban Ci sebagai garwa ampeyan atau istri selirnya.

Permintaan langsung dari Prabu Brawijaya ini mendapatkan persetujuan dari Syekh Betong. Siu Ban Ci akhirnya dibawa serta untuk menghadap Prabu Brawijaya, menggunakan tandu terbaik dari Puri Kanuruhan.

Prabu Brawijaya sangat mencintai Siu Ban Ci, yang semakin membuat Dewi Amarawati dibakar cemburu dan amarah. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan, saat Dewi Amarawati belum memiliki keturunan, Siu Ban Cai justru sudah hamil dari buah cintanya dengan Prabu Brawijaya.

Baca Juga: Serka Bayani, Prajurit Kopassus Pembisik Jenderal Prabowo yang Rebut 100 Senapan OPM

Kehamilan Siu Ban Ci memperburuk hubungannya dengan Dewi Amarawati. Amarawati secara terang-terangan meminta Prabu Brawijaya menceraikan Siu Ban Ci. Namun, cinta yang tumbuh di hati Prabu Brawijaya tidak dapat dipadamkan.

Prabu Brawijaya tidak mampu menolak permintaan Dewi Amarawati. Siu Ban Ci akhirnya dikirim ke Palembang dalam kondisi hamil tiga bulan. Siu Ban Cai dititipkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar.

Palembang pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan Majapahit dan banyak penduduknya berasal dari China. Dengan menitipkan Siu Ban Cai kepada Arya Damar, Prabu Brawijaya berharap Siu Ban Cai akan lebih betah hidup di Palembang.

Arya Damar, yang merupakan putra Raja Majapahit Bathara Prabu Wikramawardhana dengan seorang selir berdarah China, memiliki nama asli Swan Liong. Arya Damar adalah paman dari Prabu Brawijaya.

Baca Juga: Hasil Pertanian dan Maritim Sumber Pendapatan Kerajaan Kediri

Prabu Brawijaya merelakan Arya Damar menikahi Siu Ban Ci, dengan syarat Siu Ban Ci tidak diapa-apakan sebelum anak dari buah cintanya lahir. Prabu Brawijaya juga meminta agar bayi yang ada dalam kandungan Siu Ban Ci diberi nama Naraprakosa, yang berarti laki-laki perkasa.

Setelah lahir, buah cinta Prabu Brawijaya dengan Siu Ban Ca diberi nama Raden Hasan, dengan nama China Jin Bun. Ketika dewasa, Raden Hasan melakukan perjalanan ke tanah Jawa untuk menemui ayah kandungnya.

Saat Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi bertemu dengan darah dagingnya, perasaannya sangat senang. Penguasa Majapahit tersebut mengangkat Raden Hasan menjadi Adipati Demak.

Prabu Brawijaya juga mengangkat adik tiri Raden Hasan, yang merupakan buah perkawinan Arya Damar dengan Siu Ban Ci, yaitu Raden Husain atau Raden Kusen sebagai Adipati Terung. Raden Kusen kemudian dikenal sebagai Arya Pecattanda.

Baca Juga: Mengenal Daha, Wilayah yang Disebut Pernah Menjadi Ibu Kota Majapahit

Raden Hasan akhirnya menjadikan Kadipaten Demak sebagai Kesultanan Demak Bintoro. Pembangunan Masjid Agung Demak dikaitkan dengan pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Demak pada tahun 1462.

Raden Patah diangkat Wali Songo menjadi Sultan Demak Bintoro pada tahun 1478, dengan nama dari Bahasa Arab "al-Fatah," yang berarti "Sang Pembuka." Pengangkatan Raden Patah sebagai Sultan Demak Bintoro bertepatan dengan jatuhnya Majapahit.

Darah Majapahit yang mengalir dalam diri Raden Patah mendidih saat mendengar kabar bahwa kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan Prabu Girindrawardhana. Hal ini diduga menjadi salah satu pemicu Raden Patah menyerang Majapahit.

Dalam beberapa catatan, Raden Patah menunda penyerangan kedua ke wilayah Majapahit yang dikuasai Prabu Girindrawardhana untuk melanjutkan pembangunan Masjid Kadipaten Demak bersama Wali Songo.

Baca Juga: Kebal Peluru, Prajurit Kopasgat TNI AU Selamatkan Temannya dalam Operasi Mandala

Penundaan serangan dan kelanjutan pembangunan masjid merupakan bentuk penyesalan Raden Patah atas banyaknya prajuritnya yang gugur dalam serangan pertama.

Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1479 tersebut ditandai dengan gambar bulus yang memiliki makna sengkala memet. Sengkala memet bergambar bulus ini memiliki makna keprihatinan Raden Patah karena kerajaan ayahnya direbut oleh Girindrawardhana.

Dalam catatan Riboet Darmosoetopo yang termuat dalam buku "700 Tahun Majapahit, Suatu Bungai Rampai," disebutkan bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1478.

Keberadaan Kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap setelah serangan Demak. Sejumlah prasasti menyebutkan bahwa pada tahun 1486, Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana menjadi raja di Wilwatiktapura Janggala dan Kadiri.

Berita China dari Dinasti Ming juga menyebutkan adanya hubungan dengan Raja Jawa pada tahun 1499. Gubernur Portugis di Malaka, Rui de Brito, pada tahun 1514 menyebutkan ada dua raja "kafir," yaitu raja Sunda dan raja Jawa.

Penulis Italia Barbosa menyebutkan raja "kafir" di pedalaman Jawa pada tahun 1518.

Pada tahun 1522, seorang ahli Italia lainnya, Antonio Pigafeta, menyebutkan bahwa penguasa Majapahit adalah Pati Unus, yang mengisyaratkan bahwa Majapahit sudah masuk dalam kekuasaan Kerajaan Demak.

Penaklukan Majapahit oleh Demak tidak terlalu gamblang diceritakan dalam Serat Kanda dan Serat Darmogandul. Kematian Bhre Kertabhumi tahun 1478 akibat serangan Dyah Ranawijaya dijadikan sengkalan "sirna ilang kertaning bumi" dalam Babad Tanah Jawi.

Topik Menarik