Kendaraan Listrik Akan Memicu Krisis Air di Seluruh Dunia

Kendaraan Listrik Akan Memicu Krisis Air di Seluruh Dunia

Otomotif | sindonews | Selasa, 6 Agustus 2024 - 10:56
share

Saat dunia mulai berencana untuk memakai kendaraan listrik dan menyimpan sumber daya terbarukan, ancaman besar mengintai: apa yang akan terjadi penambangan besaer-besaran litium ?

BACA JUGA - NTSB Pastikan Mobil Listrik Lebih Mudah Terbakar Dibandingkan Kendaraan Biasa

Di satu sisi, litium adalah komponen kunci dalam baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi terbarukan, yang sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Namun, di sisi lain, proses ekstraksi dan produksi litium memerlukan sejumlah besar air dan berpotensi mencemari sumber daya air, terutama di daerah yang sudah mengalami kekurangan air.

"Mitigasi perubahan iklim terkadang dapat mempersulit masyarakat dan lingkungan yang sudah berada di bawah tekanan ekstrem untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim," kata James J.A. Blair, seorang profesor madya geografi dan antropologi di California State Polytechnic University yang memimpin penelitian tersebut.

“Di tempat-tempat yang mengalami kekeringan atau suhu panas ekstrem yang merupakan pemicu stres iklim yang signifikan, kita perlu benar-benar menyadari masalah pasokan air yang terkait dengan beberapa industri yang dimaksudkan untuk mendukung transisi energi.”

Proses penambangan litium, mulai dari ekstraksi mineral hingga pemrosesan, memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, terutama pada kualitas dan kuantitas air.

Masyarakat yang tinggal di dekat tambang litium, seringkali masyarakat adat atau komunitas marginal, seringkali menanggung beban lingkungan yang tidak proporsional.

Saat ini baterai ion litium (Li) merupakan jenis yang paling banyak dipakai oleh mobil listrik, dan megabaterai ini juga digunakan untuk menyimpan energi yang terbarukan. Permasalahannya, baterai litium sangat susah didaur ulang.

Salah satu alasannya adalah, metode daur ulang baterai yang lebih tradisional, seperti baterai timbal-asam, tidak bekerja dengan baik untuk baterai Li.

Baterai Li biasanya lebih besar, lebih berat, jauh lebih kompleks dan berbahaya bila dibongkar dengan cara yang salah.

"Metode saat ini, yakni menghancurkan semuanya dan mencoba memurnikan campuran kompleks. Ini sangat mahal dan menghasilkan produk sisa yang tak ada nilainya," kata Andrew Abbot, ahli kimia fisik di Universitas Leicester.

Akibatnya, mendaur ulang baterai litium akan lebih mahal ketimbang menambang lebih banyak litium untuk membuat baterai baru. Juga, dalam skala besar, cara murah untuk mendaur ulang baterai Li jauh tertinggal dari produksinya yang massal.

Hanya ada sekitar 5 baterai Li yang didaur ulang secara global, artinya kebanyakan baterai ini akan menjadi sampah.

Tapi seiring dengan meningkatnya permintaan akan mobil listrik, dan seperti yang telah diprediksikan, dorongan untuk mendaur ulang lebih banyak baterai litium kemudian ditujukan pada industri baterai dan kendaraan bermotor.

Kelemahan di sisi daur ulang ini bukanlah satu-satunya alasan mengapa baterai litium buruk untuk lingkungan. Menambang berbagai logam yang dibutuhkan untuk membuat baterai litium juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar.

Untuk menambang satu ton litium, butuh sekitar 500.000 galon (2.273.000 liter) air. Di Atacama Salt Flats yang terletak di Chili, litium dikaitkan pada berkurangnya vegetasi, suhu harian lebih panas, dan meningkatnya kondisi kering di daerah resapan air.

Topik Menarik