Disanksi DKPP karena Loloskan Calon Tak Penuhi Syarat, KPU Papua Didesak Minta Maaf
PAPUA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi berat kepada ketua dan anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua. Keputusan tersebut dibacakan Ketua DKPP, Heddy Lugito, Sabtu (25/1/2025).
Dalam putusan itu disebutkan, bahwa lima komisioner KPU Papua telah terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Pengamat Kepemiluan Marianus Yaung mengapresiasi putusan DKPP tersebut. Menurutnya putusan ini bukan hanya menjadi pembelajaran bagi KPU Papua tapi sekaligus pembelajaran bagi masyarakat Papua yang selama ini disuguhi informasi dan pemahaman yang salah.
“Nah, sekarang apa yang menjadi perbincangan publik bahwa ada calon yang menggunakan dokumen persyaratan yang tidak benar, tidak sah atau diduga palsu tetapi diloloskan oleh KPU Papua, akhirnya terjawab,” ujar Yaung, Senin (27/1/2025).
Mantan Komisioner KPU Kota Jayapura ini menambahkan, dalam putusan DKPP tersebut terungkap fakta-fakta yang mencengangkan. Dia mencatat setidaknya ada empat fakta penting.
“Pertama, ternyata penggunaan dokumen persyaratan yang tidak sah atau didiuga palsu ini sudah terjadi sejak di awal pendaftaran. Kedua, dokumen persyaratan tersebut tidak pernah diperbaiki pada masa dan tahapan perbaikan persyaratan calon,”ungkapnya.
Sedangkan yang ketiga, sebelum KPU Papua menetapkan pasangan calon tanggal 22 September 2024, Pengadilan Negeri Jayapura telah menyampaikan klarifikasi tertulis kepada KPU Papua yang menyatakan tidak pernah mengeluarkan Suket 539 dan Suket 540 kepada Yermias Bisai dan kedua Suket tersebut terdaftar atas nama orang lain yaitu Semuel Fritsko Jenggu.
Sementara yang keempat, KPU Papua diduga melakukan pelanggaran perundang-undangan karena menerima dokumen persyaratan baru milik Yermias Bisai di tanggal 20 September 2024 atau diluar dari tahapan dan jadwal yang diatur dalam PKPU No. 8 Tahun 2024.
"Pelanggarannya sangat sempurna dan terjadi di depan mata penyelenggara maupun pengawas. Saya ini pernah jadi komisioner KPU tapi saya sulit membayangkan pelanggaran seperti begini bisa terjadi, kecuali memang terhadap komisioner yang berani dan telah kehilangan rasionalitasnya, dan itu yang sedang terjadi sekarang,” ujarnya.
“Kalau hanya sekadar salah prosedur, kurang cermat, tidak ada koordinasi, salah ketik dan sebagainya, ya itu saya kira biasa dan sering terjadi dimana-mana. Tapi kalau yang model begini kan tidak wajar. Peringatan keras itu adalah sanksi yang levelnya satu tingkat dibawah pemberhentian, jadi ini tidak main-main,”sambungnya.
Akademisi Uncen ini menambahkan, dalam perspektif moral, KPU Papua seharusnya meminta maaf kepada seluruh rakyat Papua karena telah menciptakan kegaduhan dan mencederai proses demokratisasi dalam kontestasi Pilkada yang pertama kali dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.
“Ini yang patut disesali karena akibat putusan DKPP ini nama baik lembaga KPU sudah pasti tercoreng,” tutup Yaung.