Wamenkum Sebut Hukum Acara Pidana untuk Lindungi HAM dan Hindari Kesewenang-wenangan

Wamenkum Sebut Hukum Acara Pidana untuk Lindungi HAM dan Hindari Kesewenang-wenangan

Nasional | okezone | Jum'at, 24 Januari 2025 - 16:34
share

JAKARTA - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej atau yang karib disapa Eddy Hiariej menjelaskan filosofis terkait hukum acara pidana. Ia menyebut bahwa hukum acara pidana seharusnya berorientasi pada perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.

"Harus kita luruskan, harus kita pahami bersama, bahwa filosofis hukum acara pidana itu bukan untuk memproses orang yang melakukan kejahatan. Tapi filosofis hukum acara pidana itu adalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan apparat penegak hukum," kata Eddy saat menghadiri webinar bertajuk 'Urgensi dan Pokok-pokok Pembaruan Hukum Acara Pidana yang digelar Badan Keahlian DPR RI, Kamis (23/1/2025).

Menurut Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, hukum acara pidana harus bersifat keresmian dengan pengaturan yang ketat. "Karena kita harus sadar, kita harus pahami bahwa hukum acara pidana itu sedikit-banyaknya dia mengekang hak asasi manusia. Seseorang ditangkap, ditahan, digeledah, dilakukan upaya paksa padahal belum tentu pada akhirnya dinyatakan bersalah," jelas dia.

Oleh sebab itu, kata dia, legalitas hukum acara pidana berisi batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang soal tindakan negara terhadap orang yang diduga melakukan pidana. Eddy menegaskan pentingnya tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam KUHAP yakni tertulis, jelas, dan tidak boleh diinterpretasikan selain dari yang tertulis.

"Kalau hukum acara pidana harus ditafsirkan maka prinsip penafsiran tidak boleh merugikan orang yang dilaporkan, yang diperiksa, tersangka,terdakwa, terpidana maupun narapidana," terang Eddy.

Ia juga menyoroti titik berat KUHAP pada paradigma crime control model, bukan due process model yang lebih melindungi hak asasi manusia. "Di dalam KUHAP mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus mengatakan bahwa dia dalam konteks crime to control model, dia lebih menitikberatkan pada asas praduga bersalah," sambung dia.

Eddy menuturkan paradigma hukum pidana modern sudah berubah dari keadilan retributif menjadi keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Oleh karena, Eddy menekankan harus ada perubahan mendasar pada KUHAP. 

"Meskipun mungkin yang akan dipilih, politik hukumnya itu dalah tidak merubah ecara keseluruhan tapi revisi beberapa ketentuan," ujar dia,

 

Dia lalu menuturkan advokat harus diperkuat dalam KUHAP, karena advokat bertugas mengontrol, memastikan sistem peradilan pidana berjalan secara proporsional an professional.

Eddy mendukung adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), dalam hal ini polisi yang memiliki tugas sebagai sebagai penyidik utama, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Kemudian kejaksaan sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor dalam penelusuran dan perampasan aset.

"Saya setuju penyelidikan tetap ada. Ini adalah proses dari system peradilan pidana. Yang Namanya penyelidikan di semua negara ada, baru setelah itu masuk inevstigasi," ucap dia.

Ia juga menekankan pentingnya keberadaan advokat sejak tahap penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengawasan yang lebih baik dalam proses hukum.

Pengawasan terhadap perolehan barang bukti menjadi poin kritis yang disorot oleh Prof. Eddy. Menurutnya, pengumpulan barang bukti harus dilakukan secara transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait.

Selain itu, ia mengusulkan adanya dua jenis putusan tambahan di pengadilan, yakni putusan pemaafan hakim untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus dan putusan tindakan terkait dengan keadilan restoratif (restorative justice).

Namun, ia menekankan bahwa keputusan terkait restorative justice harus melalui proses penetapan hakim dan teregistrasi, baik oleh polisi, jaksa, maupun hakim.

Kemudian soal putusan Makamah Agung, Eddy menyampaikan kritik terhadap kemungkinan putusan MA yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya. "Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan sidang pembuktian sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu," tegasnya.

Topik Menarik